Jumat, 06 Juni 2008

Beda China dan Myanmar

A. Dahana
ADA kesamaan antara Myanmar dan China. Pertama, keduanya menjalankan sistem politik dan pemerintahan yang otoriter. Kedua, kini keduanya sedang dilanda musibah. Myanmar diterjang topan siklon Nargis dan lebih dari 10 ribu orang menjadi korban. Gempa bumi berkekuatan 7,9 Skala Richter di Provinsi Sichuan, China, telah menewaskan paling tidak 50 ribu jiwa.

Namun, ada perbedaan hakiki antara keduanya dalam menghadapi akibat dari prahara alam itu. Myanmar sama sekali tak bersedia menerima para sukarelawan asing yang datang untuk memberi bantuan kepada para korban bencana. Alasannya, mereka tak perlu bantuan luar karena pemerintah militer mampu menangani dengan tenaga sendiri. Tapi, tak urung ia bersedia menerima bantuan obat-obatan dan makanan sumbangan para donatur asing.

Malangnya, ada indikasi bahan makanan dan obat-obatan sumbangan dari masyarakat internasional itu disunat oleh penguasa dan yang dibagikan kepada para korban diklaim sebagai bantuan pemerintah. Maklumlah, bencana terjadi ketika junta militer tengah menyelenggarakan “referendum” atas UUD baru yang pada dasarnya memerlukan “dukungan” rakyat. Berita terakhir mengatakan hampir seluruh suara menyetujui referendum untuk mengesahkan UUD baru yang tentu saja makin memperkuat cengkeraman penguasa militer.

Sikap itu tentu saja telah membuat amarah dunia internasional. Kemarahan itu ditambah dengan tekad pemerintah Myanmar untuk terus menjalankan referendum, bahkan di wilayah bencana sekalipun. Hasilnya, Uni Eropa mendesak DK PBB untuk menekan Myanmar agar mau menerima tenaga bantuan asing. Ketaksenangan masyarakat internasional juga dipicu oleh kekejaman yang dilakukan tentara Myanmar dalam membasmi aksi protes menuntut demokrasi yang dimotori para biksu belum lama ini..

Sikap pemerintah China sangat kontras dengan para penguasa Myanmar. Lain dengan para penguasa Myanmar yang menutup diri, pemerintah China bereaksi dengan cepat. Bahkan Perdana Menteri Wen Jiabao sendiri turun ke lapangan memimpin operasi penyelamatan yang sebagian besar dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Sebab, China sangat bahwa dunia internasional, terutama media, memperhatikan peristiwa itu dengan serius.

Oleh karena itu, sejak awal negeri semiliar manusia itu membuka diri terhadap bantuan dan simpati serta liputan yang dilakukan media internasional. Wen Jiabao menyampaikan rasa terima kasih rakyat dan pemerintah China atas uluran tangan dunia internasional.

Ada sedikitnya dua alasan mengapa pemerintah China sangat terbuka terhadap dunia luar dalam menangani akibat dari prahara ini. Pertama, ia belajar betul dari sikap ketertutupannya ketika menangani krisis Tibet, khususnya dalam menghadapi protes yang dilakukan para biksu Budhis di Tibet sendiri yang kemudian meluas ke wilayah lain di China dan didukung komunitas internasional. China hampir tak berdaya dalam menjawab tuduhan internasional bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM atas suku Tibet dan kaum minoritas pada umumnya.

Faktor kedua sangat berhubungan erat dengan yang pertama, China sedang sibuk mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan Olimpiade yang akan diselenggarakan pada 8 Agustus tahun ini. Bencana datang pada saat negeri itu tengah mempersiapkan suatu perhelatan besar yang dampaknya bergaung di seantero dunia dan diharapkan akan makin mengangkat gengsinya sebagai salah satu kekuatan dunia.

Oleh sebab itulah, ia tak mengecilkan arti bantuan asing dan peliputan media internasional. Shi Anbin, guru besar ilmu politik dari perguruan tinggi terkemuka Universitas Qinghua mengatakan, kecaman dunia atas penanganan kerusuhan Tibet telah membuat Partai Komunis China (PKC) sebagai penguasa tunggal belajar banyak. Kini ia lebih memperhatikan opini dunia. Dunia berharap sikap terbuka ini akan terus menjadi kebijakan yang rutin, bukan karena sedang menghadapi perhelatan besar.

Para penguasa Myanmar tak belajar dari China yang sebenarnya merupakan mentor dan pelindungnya. Topan Nargis telah membuat pemerintah otoriter hampir tak berdaya. Ia masih bisa tegak karena dukungan China. Juga berkat sikap ASEAN yang mendasarkan pada prinsip tidak saling intervensi dalam masalah dalam negeri masing-masing anggota. Walaupun pemerintah militer Myanmar jelas-jelas telah banyak melakukan pelanggaran HAM.

Penulis adalah Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia

Wajah Lain China

A Dahana
Wen Jiabao adalah ahli geologi. Tentunya ia faham betul tentang pergeseran lapisan bumi dan tentang segala hal yang menyangkut gempa. Karenanya, tak lama setelah gempa berskala besar menimpa Propinsi Sichuan pada 21 Mei lalu, dia turun tangan memimpin kegiatan penyelamatan para korban pasca bencana.

Dengan menggunakan megafon yang tak pernah lepas di tangannya, ia berteriak memberi semangat kepada para korban yang tengah dikeluarkan oleh regu penyelamat dari reruntuhan. “Bertahanlah anak-anakku. Aku Ngkong Wen Jiabao. Kami akan menyelamatkan kalian,” katanya dengan lantang.

Apa yang dilakukan Wen dengan ‘turun ke bawah’ sungguh mengagumkan. Tak lain lantaran ia Perdana Menteri yang biasanya selalu menjaga jarak dengan rakyat kebanyakan. Kalaupun bukan dia yang sengaja memelihara jarak itu, orang-orang di sekelilingnyalah yang melakukan itu. Alasannya, tentu saja sekuriti.

Hal yang dilakukan Wen sungguh berlawanan dengan sikap pemerintah China ketika menghadapi serangan internasional dalam menghadapi krisis di Tibet. Yakni dengan menutup segala informasi bagi dunia luar mengenai hal yang dilakukan aparat keamanan China yang menurut tuduhan media internasional melakukan pelanggaran berat HAM di wilayah krisis itu.

Paling tidak ada dua tafsiran mengenai apa yang dilakukan Wen. Kalau melihat pada karakter Wen, tindakan yang dilakukannya di tengah para korban gempa Sichuan bukan sesuatu yang baru. Semasa mudanya, atau sampai sekitar 19 tahun silam, Wen adalah seorang yang dekat dengan mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC), Zhao Ziyang yang reformis dan sekarang sudah jadi mendiang itu.

Salah satu adegan yang paling dikenang orang adalah menjelang Peristiwa Juni 1989. Ketika itu Zhao dengan cucuran air mata memohon kepada para mahasiswa untuk berhenti melakukan mogok makan dan segera meinggalkan tempat itu karena tentara akan segera menyerbu. Namun, para aktifis mahasiswa bersikeras untuk tetap tinggal di sana. Ketika Zhao membujuk para mahasiswa untuk segera angkat kaki, Wen berada di sampingnya.

Pada waktu itu, Wen tak lain salah satu staf ahli yang berada di sekeliling Zhao dalam rangka mendorong China untuk lebih terbuka dan lebih maju lagi menjalankan reformasi. Adalah suatu keajaiban bahwa Wen selamat dari pembersihan yang dilakukan kaum konservatif setelah Zhao terjungkal dari kekuasaan dan berada dalam tahanan rumah sampai akhir hayatnya.

Dari adegan Wen berada di tengah para korban gempa pada Mei 2008 dan ketika ia mendampingi Zhao pada Juni 1989 yang terukir dalam ingatan orang, tersimpul pandangan bahwa Wen adalah orang yang penuh dengan perasaan empati. Ia tokoh politik yang selalu bersimpati terhadap kaum yang sedang dalam kesusahan. Dan ia tak segan meninggalkan tata cara protokol dan peraturan keamanan demi menolong manusia.

Namun, ada pandangan lain yang menyimpulkan, apa yang dilakukan Wen tak lain dari jurus kehumasan belaka. Menurut asumsi ini, China yang tengah bersiap menyelenggarakan Olimpiade, belajar banyak dari kasus krisis Tibet.

Ketertutupan terhadap media internasional untuk memberikan informasi yang benar-benar obyektif tentang kebijakan politik, ekonomi, dan sosial di Tibet telah banyak merugikan. Bahkan Olimpiade pun nyaris mendapat gangguan dengan adanya ancaman dari beberapa negara untuk tak berpartisipasi dalam Olimpiade 2008.

Sejalan dengan pandangan ini bisa muncul tuduhan bahwa negeri yang dikuasai partai tunggal itu memang melakukan apa yang dering disebut sebagai ‘moralitas ganda’. Artinya, di satu sisi ia melakukan tindakan diskriminatif terhadap golongan minoritas di Tibet.

Tindakan ini, menurut tuduhan tersebut, berupa kebijakan asimilasi paksa terhadap etnik Tibet antara lain dengan migrasi besar-besaran orang Han ke wilayah itu. Pemerintah China juga dituduh telah melakukan rekayasa sosial yang telah mencabut orang Tibet dari akar budayanya.

Sedangkan di sisi lain, pemerintah sangat memperhatikan nasib para korban gempa Sichuan yang nota bene adalah orang Han. Itu dibuktikan dengan kehadiran Wen Jiabao di tengah para korban bencana alam.

Akan tetapi, sikap pemerintah China yang memberikan akses kepada media, para peninjau, dan para dermawan internasional dalam menangani kasus pasca gempa Sichuan, patut mendapat acungan jempol. Pertanyaannya, apakah China dan Partai Komunis China telah berubah?

Penulis adalah Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia

Back to Habibie

Hamid Basyaib

WAKIL Wakil Presiden BJ Habibie baru saja meminum air putih untuk buka puasa Kamis ketika ajudan memberi tahu ada tamu. Saya hampir tak percaya melihat tamu berbatik yang menyeruak riang itu: Jack Welch!

Inilah Presiden General Electric yang legendaris itu. Wibawanya melampaui banyak presiden sungguhan. Hidupnya berkeliling ke puluhan negara dengan jet pribadi untuk menemui ratusan ribu karyawan.

Sambil memeluk tamunya yang jangkung, Habibie bilang mereka berdua senasib. "Dada kami sama-sama pernah dibelah," katanya, untuk menyebut operasi jantung koroner.

Lalu, tanpa basa-basi, dan tanpa mengukur-ukur 'harkat manusia', Habibie mengajak kami bertiga (Adi Sasono, M Syafi’i Anwar, dan saya) berfoto bersama sang tamu.

Begitulah Habibie. Spontan. Riang. Bersahabat. Lugas, kadang terkesan naif. Dia tak pernah berubah; semangat berkobar memajukan bangsa.

Berbeda dari kebanyakan pemimpin yang puas dengan retorika muluk, Habibie tahu dan mampu menunjukkan cara meraih kemajuan: melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Tiada orang lain di negeri ini yang sesemangat dia dalam meyakini hal ini, dan dalam mengupayakan kemakmuran Indonesia.

Semangat dan kesungguhan itu pula yang terlihat ketika ia bicara dua jam di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah, Kamis (29/5). Setelah meringkaskan 100 tahun perjalanan bangsa, Habibie menguraikan sejumlah agenda politik dan ekonomi dalam konteks reformasi yang ia mulai 10 tahun lalu.

Ia mengungkapkan sejumlah masalah, yaitu tingginya pengangguran dan kemiskinan, merosotnya patriotisme, pengutamaan kepentingan pribadi, kelompok dan berjangka pendek.

Tapi Habibie tak cuma meratap, apalagi mencerca. Ia mengajukan tawaran solusi konkret, yang ia sebut back to basic.

Posyandu yang terbengkalai bukan hanya perlu dihidupkan lagi, tapi sekaligus jadi pusat layanan informasi (termasuk jaringan internet) untuk teknologi pembinaan keluarga sejahtera, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja.

'Desa Surya' perlu dikembangkan, bersama pemanfaatan energi panas bumi. Sistem irigasi pertanian perlu direhabilitasi dan dikembangkan. Semua itu, bersama program KB, termasuk yang terabaikan selama 10 tahun reformasi.

Harus segera dibangun kereta api cepat Jakarta-Semarang-Surabaya dengan memanfaatkan energi terbarukan geotermal, selain rehabilitasi dan elektrifikasi jaringan KA se-Jawa.

Rencana pembangunan Batam, Rempang, Galang dan Bintan perlu disempurnakan, beserta pelanjutan pengembangan Pulau Natuna. Arus laut di NTB dan NTT perlu segera dikembangkan menjadi energi terbarukan. Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu harus dilanjutkan dan disempurnakan.

Di tengah ekonomi global yang unpredictable, Habibie ingin ekonomi nasional lebih prediktabel. Ia memberi contoh harga BBM, yang dipengaruhi harga internasional. Pemecahannya tidak bisa berorientasi pada upaya nasional, misalnya dikaitkan APBN.

Di masa depan harga BBM harus diserahkan pada mekanisme pasar. Tapi harus dengan persiapan matang. Misalnya: gratiskan pendidikan, murahkan biaya kesehatan, dan naikkan gaji.

Sejumlah tawaran solusi Habibie terbuka untuk didebat. Tapi setidaknya ia punya ide yang jelas dan operasional. Dan ia membuktikan berani mengambil keputusan melaksanakannya, bahkan di tengah badai kritik.

Tugas pemimpin memang mengarahkan pengikut, bukan terombang-ambing di tengah kepentingan pengikut dan lingkaran kawan. Juga kerisauan bakal tak populer. Ia bukan cuma berkata bahwa negeri ini harus “damai, sejahtera, adil dan makmur”.

Ide-ide Habibie melampaui klise yang tak pernah ditunjukkan para pemimpin lain. Ia punya cita-cita terang dan tahap-tahap langkah yang jelas ke mana perahu Indonesia harus didayung di antara banyak karang.

Pemerintah mestinya memberi porsi peran yang tepat bagi elder statesman seperti BJ Habibie yang spiritnya tak pernah pudar.

Ketika masih bekerja di perusahaan pesawat terbang Jerman, ia lebih banyak berperan sebagai penyusun dan pelaksana strategi pemasaran. Kini pun ia pasti sanggup menjalankan peran itu. Jaringan ekonomi internasionalnya luas; ia menjalin pertemanan dengan orang AS seperti Jack Welch. Lobinya di Uni Eropa lebih kuat lagi.

Dalam usia 72, dengan puncak-puncak prestasi yang pernah ia capai, dengan kekayaan dari berbagai bisnis, royalti, dan saham-saham internasional, Habibie sudah menuntaskan urusan ambisi pribadi.

Jika pemerintah meminta Habibie kembali bekerja, siapa tahu ia bersedia. Dan siapapun tak perlu menganggapnya saingan. Era Habibie sudah berlalu. Peluang politiknya tertutup ketat. Yang masih tersisa di sakunya hanyalah kecerdasan, energi kemajuan, ide-ide besar dan praktis untuk Indonesia modern.

Pihak peminta hanya perlu bersaing dengan Ibu Ainun, seorang isteri berwajah ayu, yang tak ingin tampil melampaui porsinya; seorang isteri yang tak pernah mendistorsi tugas-tugas kenegaraan suami.

Penulis adalah Direktur Eksekutif SPIN (Strategic Political Intelligence). [L1]

Reformasi Kita, Reformasi Cina

Reformasi Kita, Reformasi Cina
Hamid Basyaib

CERAMAH Dr Fan Gang dua tahun lalu, di forum Asia-Pasifik di Phuket, menancap kokoh di benak saya. Penasihat ekonomi PM Li Peng itu memaparkan strategi reformasi negerinya dengan gamblang, sederhana, simpatik, dan dengan kerendah-hatian khas Cina.

Beda antara orang pintar dan orang bodoh cuma satu: yang pertama mampu membuat masalah rumit menjadi sederhana, yang kedua sebaliknya: membikin masalah yang paling simpel pun jadi rumit. Fan Gang adalah jenis pertama.

Ia menekankan bahwa reformasi bukanlah revolusi. Reformasi adalah upaya memperbaiki institusi-institusi lama yang ada, atau membentuk institusi-institusi baru (karena yang lama sudah tidak efektif untuk mencapai target-target baru akibat perubahan situasi).

Revolusi juga memang gemar membuat institusi baru, tapi sambil menghancurkan yang lama, lengkap dengan pemutusan historis dan kehancuran kulturalnya. Sepuluh tahun revolusi Cina (1966-1976) telah cukup menjadi bukti tentang kehancuran itu; meski kebijakan Mao itu dinamakan "Revolusi Kebudayaan" – atau justru karena targetnya memang penghancuran budayalah maka ia dinamai demikian.

Kedua, kata Fan, ukuran kemajuan dan efektifitas institusi baru itu bukanlah pada hasilnya, tapi pada proses dan progresnya. Kriteria penilaian ditetapkan dulu, lalu diterapkan setiap tahun (atau per triwulan atau semester) pada rencana pencapaian lembaga baru itu.

Dengan cara ini, kemajuan akan terlihat. Kadarnya sedikit saja. Tapi kemajuan sangat kecil itu bisa memompa semangat para pelaksana bahwa mereka telah mampu bergerak maju dan karenanya akan sanggup bergerak lebih maju lagi. Sukses kecil diikuti sukses lebih besar sedikit, dan seterusnya.

Begitu pula jika terjadi kekeliruan, penyimpangan, kemandekan ataupun pencapaian yang terlalu minimal. Program dan kebijakan bisa segera dibenahi, digiring kembali ke jalur awalnya, sehingga segala kekurangan itu tidak berlarut-larut dan destruksinya menular ke mana-mana.

Ketiga, Fan Gang menyebut strategi PPP (part & partial progress). Yang diukur kemajuannya adalah bidang atau bagian tertentu dari suatu program besar. Perumus kebijakan bisa memilih dan menentukan bidang dan bagian manakah yang mungkin ditetapkan sebagai prioritas, lalu mengukur proses dan kemajuannya setahap demi setahap.

Semua itu, menurut Fan, dilakukan Cina praktis sejak pembaruan ekonomi dicanangkan pada 1978. "Hasilnya memang banyak dipuji orang," katanya sambil tersenyum merendah. "Tapi sebenarnya kami masih jauh dari tujuan besar. Sekarang pun baru saja terjadi PHK atas dua juta pekerja."

Fan meramalkan, Cina akan mencapai apa yang dia sebut full employment dan full market-mechanism tiga puluh tahun lagi. Artinya: pada 2035 tidak ada lagi pengangguran di Cina, dan perekonomian sepenuhnya dijalankan dengan sistem pasar.

Saya bilang pada Dr Fan, ia perlu datang ke Jakarta untuk membagi pengalamannya dalam mengawal reformasi Cina kepada para petinggi Indonesia.

"Saya senang sekali dan akan datang jika diundang," katanya. Ia mengaku pernah bicara dalam forum CSIS di Jakarta.

Hari-hari ini, ketika banyak orang menggelar acara-acara peringatan 10 Tahun Reformasi – di tengah gemuruh demonstrasi kenaikan BBM dan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional – nada umum yang terdengar adalah: Reformasi telah gagal.

Kita memang berhasil mencapai kemajuan politik besar berkat Reformasi, tapi, kata orang, secara ekonomi kita tidak lebih baik, kalau bukan justeru lebih buruk. Lihatlah: bahkan kata “Reformasi” pun telah makin pejoratif sehingga istilah yang pernah sangat ampuh ini makin jarang disebut orang.

Pemerintah pun sejauh ini tak kunjung mampu menyajikan data yang meyakinkan bahwa manisnya buah Reformasi memang telah cukup dinikmati publik, 10 tahun setelah kita menanam pohonnya. Pemerintah hanya mampu defensif, menangkis sejumlah penggalan serangan tentang kegagalan Reformasi di tangannya, tanpa pernah berinisiatif mengkomunikasikan capaian-capaian Reformasi secara komprehensif dan mudah dicerna penduduk.

Ada baiknya pemerintah mempelajari sungguh-sungguh sukses reformasi Cina sebagaimana dipaparkan ringkas oleh Fan Gang itu. Kita boleh mengingat peribahasa yang diam-diam diamalkan Fan dan kawan-kawannya: Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.

Kita bisa seperti Fan: mengukur efektifitas langkah pertama, kedua, dan seterusnya. Bukan buru-buru melihat dan mengukur apakah kita sudah menempuh perjalanan seribu mil atau belum.

Penulis adalah Direktur Program Freedom Institute