Selasa, 18 Desember 2007

Andrias Harefa

05 Juni 2006 - 08:46 (Diposting oleh: editor)
Mendefinisikan Realitas ( 3 )

Halaman sebelumnya

Banyak mendengarkan, berempati, awareness, dan melihat dengan mata batin, itulah yang saya kira menolong para pemimpin untuk mampu mendefinisikan realitas, menunaikan tanggung jawabnya yang pertama.

Bila hipotesis di atas dapat diterima, maka kita mungkin dapat kembali menyadari betapa langkanya manusia yang disebut pemimpin itu di negeri kita. Kita memiliki begitu banyak pejabat, yakni pemangku jabatan kepemimpinan, tetapi sulit menemukan orang-orang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan. Kalau ada pertemuan yang dihadiri para pejabat, maka mereka biasanya justru diberi banyak kesempatan untuk (dan maunya memang) berbicara, memberikan “pengarahan”, “petunjuk”, dan sebangsanya. Pada hal kebutuhan kita yang utama adalah “didengarkan”, “dimengerti”, dan “dipahami”, bukan “dikuliahi”.

Kita memiliki begitu banyak “atasan” atau “boss”, tetapi begitu sulit mencari mereka yang mampu berempati. Kebanyakan “atasan” dan “boss” kita memang ”tahu” apa yang kita rasakan, tetapi tidak ”merasakan” apa yang kita rasakan. Mereka “tahu” betapa menderitanya pegawai-pegawai kecil, pengajar-pengajar sekolahan, pengusaha skala micro-kecil, bila harga-harga membumbung, tarif listrik-BBM-telepon naik sambung menyambung, tetapi mereka “tidak sampai merasakan” semua itu.

“Atasan” dan “boss” kita juga sering menunjukkan tanda-tanda “lupa diri”. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan penghasilan utama, kaum ”atasan” dan “boss” itu masih saja melancong ke manca negara, pamer kemampuan membeli mobil mewah, dan berbagai perilaku kasat mata yang tidak menunjukkan adanya kesadaran diri bahwa mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang sedang sangat menderita, dan semakin menderita menyaksikan sikap dan perilaku mereka yang tidak menunjukkan entah itu sense of crisis, sense of urgency, atau sense-sense lainnya. Sepertinya mereka justru kehilangan commonsense (akal sehat)-nya.

Ujung-ujungnya, kita kesulitan menemukan “atasan” dan “boss” yang visioner, yang mampu memperlihatkan kepada kita direction yang lebih baik. Kita tidak tahu apa yang mereka “lihat” dengan mata batinnya, sehingga kita ragu apakah mereka memiliki jiwa reformis atau cuma penjaga status quo yang berbulu reformis (musang berbulu domba).

Konsekuensi dari semua itu adalah kita kehilangan kemampuan untuk memahami zaman apa yang sedang kita masuki dewasa ini. Kita telah kehilangan orang-orang yang mampu mendefinisikan realitas, bahkan lebih parah lagi, kita kehilangan orang-orang yang mau menerima tanggung jawab untuk mendefinisikan realitas itu. Yang banyak kita jumpai adalah mereka yang masih “rajin” melempar tanggung jawab, mencari-cari kambing hitam ketika setiap permasalahan muncul ke permukaan.

Mudah-mudahan seluruh hipotesis saya keliru.

* Andrias Harefa adalah seorang pembelajar Sekolah Kehidupan, inisiator website Pembelajar.com, dan telah menghasilkan 25 buku laris. Ia juga dikenal dengan julukan WTS (writer, trainer, speaker). Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

Andrias Harefa

05 Juni 2006 - 08:46 (Diposting oleh: editor)
Mendefinisikan Realitas ( 2 )

Halaman sebelumnya

Dulu sebagian dari kita mungkin pernah berpikir bahwa seandainya kita memiliki cukup pengetahuan, maka relatif mudah untuk memprediksi masa depan? Tapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang dianggap paling berpengetahuan, pakar-pakar dengan atribut akademis lengkap sampai tingkat doktoral? Tidakkah kita menemukan bahwa ternyata mereka juga tidak bisa mendeskripsikan masa depan kita semua? Catat saja berbagai prediksi yang kemudian terbukti keliru tentang perkembangan ekonomi dan politik negeri ini. Siapa yang pernah membayangkan peristiwa 14-15 Mei 1998 akan terjadi dan mengakibatkan Soeharto “turun tahta” minggu berikutnya? Dan ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, siapa pernah menduga bahwa masa pemerintahannya akan begitu pendek? Siapa yang pernah meramalkan bahwa wanita bernama Megawati Soekarnoputeri akan jadi Presiden Indonesia dengan dukungan kelompok yang pernah menolaknya mati-matian, bahkan dengan menggunakan ayat-ayat suci agama tertentu? Ingat juga bagaimana tragedi runtuhnya Menara Kembar WTC di New York, 11 September 2001, yang melampaui imajinasi penulis skenario film-film Hollywood, yang paling liar sekalipun. Siapa menduga bahwa “popularitas” Putri Diana akan tersaingi oleh Osama Bin Laden, bukan oleh Julia Robert, Jennifer Lopez, atau Britney Spears?

Sungguh tidak mudah mendefinisikan sebuah zaman. Dan pekerjaan yang tidak mudah itu adalah tanggung jawab pertama seorang pemimpin. Ia harus mendefinisikan realitas. Ia harus belajar banyak dari sejarah, tetapi tidak terpasung oleh catatan sejarah. Ia harus mendefinisikan realitas masa kini, memahami makna berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia, namun dengan kemampuan membaca realitas masa depan tanpa terjebak pada “hyper-reality” atau pun “virtual reality” yang tidak sungguh-sungguh “real”. Bukan main sulitnya, tetapi “sulit” tidak berarti impossible.

Karena mendefinisikan realitas tidak pernah mudah, maka saya sering bertanya-tanya bagaimana para pemimpin menunaikan tanggung jawab pertamanya ini. Dan sejauh ini, studi saya menunjukkan beberapa hipotesis berikut.

Pertama, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk lebih banyak mendengarkan (listening). Ia harus belajar mendengarkan “suara-suara”. Termasuk dalam “suara-suara” itu adalah “suara” dari yang Gaib (Tuhan), suara hati nuraninya (bila masih fungsional), dan suara konstituen potensialnya (entah itu rakyat, umat, pegawai, atau komunitas lainnya). Dalam proses mendengarkan ini ia mungkin juga perlu banyak membaca, tetapi yang lebih penting mungkin adalah merenung-renungkan, berkontemplasi, menelusuri sanctuary-nya, lalu membedakan antara yang esensial dan yang tidak esensial.

Kedua, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin belajar untuk berempati, terutama berempati pada konstituen potensialnya. Ia harus mampu merasakan secara emosional berbagai jeritan hati dan penderitaan, sekaligus berbagai macam harapan dan impian konstituennya. Tidak cukup hanya sekadar “tahu”, harus sampai “rasa”.

Ketiga, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin selalu mengembangkan kesadaran (awareness) yang lebih besar, terutama mengenai dirinya (self-awareness) itu apa dan siapa. Ia masuk ke dalam kemanusiaannya sendiri, dan dengan cara itu ia makin menegaskan harkat dan martabat dirinya sebagai pertama-tama manusia, sama seperti konstituen yang ingin dilayaninya.

Keempat, untuk dapat mendefinisikan realitas pemimpin mengasah mata batinnya (eye of spirit), menerobos kungkungan masa kini menuju masa depan yang lebih manusiawi. Dengan cara ini ia dimungkinkan untuk merumuskan konsep (conceptualization), yang kemudian disusun menjadi “visi”-nya (vision statement).

Andrias Harefa

05 Juni 2006 - 08:46 (Diposting oleh: editor)
Mendefinisikan Realitas ( 1 )

Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan di antara kedua hal itu, pemimpin adalah seorang pelayan (a servant) dan seorang yang berhutang (a debtor).
–– Max De Pree

Tidak mudah mendefinisikan zaman ini. Pada satu sisi, banyak orang bicara atau menulis soal “kematian” di mana-mana. Lihat saja judul-judul buku terlaris seperti: the death of economics, school is dead, the death of competition, the end of management, the end of education, the end of nation state, the end of history, dan sebagainya. Pada sisi lain, orang bicara dan menulis tentang segala sesuatu yang “serba baru”, seperti judul buku-buku berikut: the rise of nation state, new economy, digital economy, knowledge economy, attention economy, knowledge management, knowledge society, learning organization, network organization, adaptive organization, crazy organization, relational organization, democratic organization, virtual organization, quantum learning, dan sebagainya. Di sudut yang satu orang berteriak “globalisasi”, sementara pada saat yang bersamaan berkumandang teriakan tandingan “otonomi daerah”. Orang juga bicara soal pentingnya “focus” dan “loyalty”, tetapi yang serba multi juga marak seperti: multi purpose van, multi job, multi income, multi career, multi level marketing, sampai multiculturalism. The age of paradox, terra incognita, post-modernisme?

Menyebut zaman ini sebagai era informasi atau era pengetahuan pun tidak membuat kita mudah memahami maknanya. Sebab pada satu sisi kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang begitu mudah diakses dari sumber-sumber pertama yang berada di sudut-sudut global village meski secara geografis letaknya dipisahkan oleh samudra luas antar benua. Pengetahuan dunia ada di ujung jari para pengguna internet yang jumlahnya terus berkembang secara eksponensial. Namun, pada sisi lain banjir data, informasi, dan pengetahuan itu justru membuat kita bingung untuk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan mana yang tidak berguna sama sekali. Kita justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu justru berlebih-lebihan. Begitulah, kalau dulu kita mengejar data, informasi, dan pengetahuan sampai ke Amerika dan Eropa, maka sekarang informasi, data, dan pengetahuan “mengejar” kita sampai ke wilayah-wilayah yang bersifat pribadi di sudut-sudut rumah kita (ingat, e-mail dan SMS dapat menjangkau banyak orang, bahkan ketika mereka sedang berada di WC rumahnya).

Kamis, 29 November 2007

MEMAKNAI KERJA



Andrias Harefa


Apa arti kerja bagi Anda?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Aktivitas untuk memperoleh nafkah hidup,” jawab Didi yang pengusaha.
”Kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau hasil,” ujar Elly yang dosen perguruan tinggi.
”Tugas-tugas yang harus ditunaikan,” kata Wawan yang tentara.
”Mengembangkan potensi diri, memenuhi panggilan batin, mencari nafkah sekaligus memberi makna pada hidup melalui karya-karya kita,” urai Bagong yang pegawai.

***

Di sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa cara pandang atau peta yang kita pergunakan untuk memberi makna pada pekerjaan, akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita dalam bekerja. Seorang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting, bernilai, bahkan mulia, misalnya, akan menunjukkan sikap kerja yang berbeda dengan mereka yang memaknai pekerjaannya sebagai hal yang tidak penting, tak bernilai, bahkan hina. Orang-orang yang memaknai pekerjaannya sebagai sesuatu yang pantas dibanggakan akan menunjukkan perilaku kerja yang berbeda dengan orang-orang yang merasa malu dengan pekerjaan mereka. Masalahnya bukan pada ”apa yang dikerjakan”, tetapi pada bagaimana mereka memaknai pekerjaan tersebut.

Seperti seorang kawan bernama Anton yang memaknai pekerjaannya hanya sebagai pekerjaan untuk nafkah hidup semata. Statusnya sebagai wiraniaga di perusahaan asuransi terkemuka negeri ini, sebenarnya cukup bisa dibanggakan. Namun, ia sedikit sekali menaruh minat atas apa yang dikerjakannya dan tak menyukai sifat pekerjaannya yang memberikan banyak tantangan. Hanya karena merasa wajib bekerja agar mendapatkan penghasilan, maka Anton bertahan di tempat kerjanya itu. Akibatnya, Anton sangat sensitif terhadap soal jumlah komisi yang diperolehnya. Jika komisinya berkurang sedikit saja dari biasanya, atau ia mendapatkan informasi ada komisi yang sedikit lebih tinggi di perusahaan asuransi lain, maka ia langsung ingin cepat-cepat pindah kerja. Kalau ada kesempatan kerja di luar industri asuransi pun, sepanjang hal itu memberikan penghasilan lebih besar, Anton akan segera merasa tertarik. Saat-saat yang paling menyenangkan bagi Anton adalah tanggal pembayaran komisi/gajian. Selebihnya adalah kewajiban yang harus dilakukan.

Berbeda dengan Anton, kawan bernama Tommy memaknai pekerjaannya sebagai karier. Ia ingin ada peningkatan karier dari waktu ke waktu. Artinya, ia tidak melihat uang atau gaji sebagai satu-satunya faktor penentu kepuasan kerjanya. Ia juga memperhitungkan soal-soal lain, terutama soal kekuasaan/jabatan, status sosial, dan gengsi. Walau gajinya sebagai kepala bidang operasional sebuah bank nasional yang sudah mapan hanya rata-rata industri saja, namun ia tetap bersemangat karena merasa ada prospek karier untuk menjadi kepala cabang di tahun-tahun mendatang. Lagi pula, ia sudah mulai mendapatkan fasilitas pinjaman untuk membeli mobil idamannya, sesuatu yang menaikkan gengsinya di lingkungan kerabat dan tempat pemukimannya. Bagi Tommy, ia akan mulai berpikir untuk mencari pekerjaan baru, bila kariernya sudah mentok tak kemana-mana.



Lain lagi halnya dengan Titin yang bekerja sebagai penulis lepas. Ia memaknai pekerjaannya sebagai panggilan batin. Ia mencintai pekerjaannya, dan antara pekerjaan dengan irama kehidupannya sehari-hari tak terlalu banyak bedanya. Sebagai ibu dari dua anak remaja yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, Titin terkadang ikhlas tak mendapatkan imbalan material apapun dari karya tulisnya yang dipublikasikan pihak lain untuk tujuan sosial. Ia merasa memang itulah tugasnya. Ia merasa ada kemuliaan dari apa yang dikerjakannya. Dan ia juga sangat menikmati kebebasan waktu kerjanya yang menurutnya ”tak ternilai harganya”. Sebab, sebagai penulis lepas ia bisa mengatur sendiri waktu untuk mengurus anak-anak dan mencari nafkah. Ia juga tidak harus terikat pada lokasi kerja seperti kantor, karena bisa bekerja dimana saja berkat laptop sederhana miliknya. Karenanya, walau penghasilan Titin tak berlebihan, ia tak pernah berpikir untuk berganti pekerjaan.

Baik Anton, Tommy, maupun Titin, adalah wajah dari orang-orang di sekitar kita. Orang-orang seperti Anton selalu mengutamakan gaji, komisi, uang. Status sosial, gengsi, jabatan, dan panggilan hidup urusan belakangan. Sepanjang pekerjaan mereka menghasilkan uang yang lebih banyak, mereka bersemangat dalam bekerja. Sementara orang-orang seperti Tommy masih bersedia bersabar dengan gaji yang pas-pasan, asalkan diberi jabatan formal, kekuasaan memimpin sejumlah bawahan, dan gengsi karena bekerja di perusahaan terkemuka. Dan bagi orang-orang seperti Titin, pekerjaan haruslah berkaitan dengan keyakinannya atas kontribusi hidupnya bagi keluarga, bangsa, masyarakat, atau dunia. Tak soal penghasilan pas-pasan, tanpa jabatan mentereng, tak punya kantor yang megah, dan sebagainya. Asal ada keyakinan bahwa karya-karyanya berguna bagi banyak orang, ikut mendorong proses-proses kebudayaan, membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah dan layak dihuni, cukuplah.

Anton, Tommy, dan Titin amat boleh jadi merasakan kepuasan yang berbeda atas hasil-hasil pekerjaannya. Di antara mereka juga mungkin sulit untuk saling memahami pilihan satu dengan yang lain. Masalahnya bukan pada ”apa” yang mereka kerjakan, tetapi pada kemampuan memaknai pekerjaan itu sendiri. Artinya, bisa saja seorang buruh pabrik atau tukang angkut sampah memaknai pekerjaan sebagai amanah atau panggilan hidup yang harus ditunaikan. Ia bisa dengan ikhlas dan senang hati melakukan pekerjaannya. Dan sebaliknya, seorang eksekutif muda atau manajer senior di perusahaan terkemuka hanya menganggap pekerjaannya sebagai sarana memperoleh uang semata. Sehingga, ia sering merasa terbebani, tidak gembira dan kurang puas dengan pekerjaannya.

Sejumlah psikolog ahli yang mendalami masalah kepuasan kerja dan kepuasan hidup menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang mampu memaknai pekerjaannya sebagai hal yang berkaitan dengan panggilan hidup atau amanah yang harus ditunaikanlah yang mengalami kepuasan kerja dan kepuasan hidup paling maksimal. Mereka umumnya memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang mereka kerjakan, dan menikmati sifat-sifat dari pekerjaannya. Itu sebabnya ada kegembiraan dalam bekerja, dan motivasi mereka mengalir dari dalam batinnya. Mereka menjadi orang-orang yang tidak saja produktif dan kreatif, tetapi juga sekaligus loyal dengan tugas pekerjaannya.

Bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita pilih saat ini? Adakah pekerjaan yang kita lakukan hari-hari ini sesuai dengan minat dan potensi terbaik kita? Disamping soal uang, apakah pekerjaan kita berkesesuaian dengan panggilan hidup atau amanah dari langit yang memang perlu ditunaikan? Mampukah kita melihat kemuliaan dari pekerjaan kita? Setiap kita tentu memiliki jawabannya masing-masing. Yang jelas, bila kita ingin meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan hidup, maka hal terpenting yang mungkin perlu kita periksa adalah bagaimana kita memaknai pekerjaan yang kita lakukan sehari-hari.

Memberi makna pada pekerjaan, itulah hal yang tak bisa dilakukan oleh mesin-mesin canggih dewasa ini. Memberi makna pada pekerjaan juga tak mampu dilakukan oleh kambing, kucing, dan anjing. Sebab kemampuan memberi makna, adalah kemampuan khas yang dianugerahkan Sang Pencipta hanya kepada manusia ciptaan-Nya. Dan dengan bekal kemampuan memaknai ini pula manusia di mungkinkan untuk mengenal konsep kebahagiaan dalam hidupnya. Apakah kemampuan ini kita kembangkan dengan gegap gempita, atau terbengkalai begitu saja sehingga kita sering merasa terlunta kehilangan arah?

Tabik Mahardika!

* Andrias Harefa adalah inisiator Pembelajar.com dan penulis 28 buku laris. Ia dapat dihubungi di; aharefa@cbn.net.id.

Tindakan Lebih Penting Dari Pengetahuan


By Andrew Ho

Pada suatu hari seorang ilmuwan terkenal bertanya kepada guru agamanya, "Pak, apakah inti penting di dalam agama?"

"Jangan melakukan segala dosa, sebaliknya jalankan semua amal dan kebaikan," jawabnya.

Ilmuwan itu menganggap bahwa itu adalah jawaban standar yang terlalu luas dan kurang jelas. "Apa yang Bapak katakan itu terlalu sederhana. Anak berusia tiga tahun pun akan sudah tahu jawaban seperti itu," timpalnya.

"Memang anak seusia itu juga akan mengerti, tapi orang tua yang telah berusia delapan puluh tahun belum tentu bisa melakukannya," sahut guru agama itu.

Pesan:

Apa yang telah diungkapkan oleh sang ilmuwan sangat sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang cukup pintar dan mengerti tentang rambu-rambu kehidupan dari ilmu pengetahuan yang mereka pelajari, seminar, buku, televisi dan lain sebagainya. Misalnya bila kita ingin sukses, maka kita harus bersikap positif (lebih ramah, disiplin, jujur, gigih berusaha, dan lain sebagainya) serta menjauhi tindak negatif (korupsi, kolusi dan nepotisme, menghasut, menipu dan lain sebagainya).

Tetapi hanya sebagian kecil diantara kita yang benar-benar sukses dan bahagia. Banyak juga orang pintar yang melanggar aturan negara maupun agama, misalnya berbuat korupsi, pembunuhan, praktik ilegal dan tindak kriminal lainnya. Mengapa? Karena semua pengetahuan itu hanya sebatas wacana atau tidak berlanjut kedalam tindakan nyata.

Kunci kebahagiaan dan keberhasilan dalam kehidupan setelah mencari ilmu pengetahuan adalah mempraktekkan semua ilmu pengetahuan tersebut kedalam tindakan nyata. Segudang ilmu pengetahuan tidak akan bermanfaat bila kita sendiri tidak menjalankannya. "Tindakan tidak selalu membawa kebahagiaan, tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa tindakan," kata Benjamin Disraeli.

Sebaliknya, betapapun sederhana ilmu pengetahuan yang kita miliki akan memiliki kekuatan yang dahsyat jika kita menggunakannya setiap hari dan setiap saat. Contoh sederhana misalnya kita ketahui bahwa bersikap disiplin, jujur dan tersenyum atau ramah kepada semua orang itu baik. Pengetahuan tersebut akan memberikan manfaat lebih dahsyat terhadap berbagai hal termasuk kesuksesan dan suasana hati bila kita senantiasa mempraktekkannya. Oleh sebab itu latihlah diri kita senantiasa melakukan tindakan nyata atas apa yang sudah kita ketahui.

Saat Merasa Paling Kaya


By Andrew Ho

Diceritakan ada seorang kaya raya di sebuah negara adidaya. Begitu banyak harta yang ia miliki sehingga ia mendapat julukan multi-jutawan. Selain dikenal sangat kaya, belakangan ini baru banyak orang mengenal dirinya sebagai orang yang sangat pemurah.

Kedermawanannya diketahui khalayak bermula ketika sebuah organisasi sosial menyatakan telah menerima sumbangan dari seseorang tak dikenal dalam 25 tahun terakhir. Mereka menengarai sumbangan yang selama ini telah mereka terima dari dermawan misterius itu sudah lebih dari 0,27 milyar USD. Tetapi saat mereka menerima sumbangan yang ke sepuluh, organisasi sosial tersebut berusaha mencari tahu siapa sebenarnya orang itu.

Dalam beberapa waktu kemudian, organisasi sosial itu berhasil menemukan bahwa dermawan tersebut adalah seorang pengusaha permen, yang tak lain adalah sang multi jutawan. Berita tersebut dengan cepat tersebar kepada kalangan masyarakat. Wartawanpun mengunjungi rumahnya untuk mengorek lebih banyak hal tentang sang multi jutawan.

“Kapan Bapak merasa ingin beramal?” tanya seorang pewarta penuh selidik.
“Kapan saja ketika saya merasa sangat kaya,” jawab sang multi jutawan.
“Kapan Bapak merasa sangat kaya?” tanya wartawan lagi.
“Ketika saya ingin beramal,” tukasnya singkat.

Pesan:

Kisah nyata tersebut menggambarkan kalau kita kaya tak perlu menjadi sombong. Bersikaplah rendah hati dan murah hati seperti pengusaha permen tadi. Sesuatu yang ia berikan kepada orang lain mungkin baginya tidak terlalu besar. Tetapi yang pasti, apa yang ia berikan sangat berarti dan membahagiakan dirinya maupun orang lain yang menerima.

Mungkin kita dulu sudah bertindak bodoh dengan apa yang kita miliki, tetapi masih ada kesempatan untuk merubahnya. Cobalah mengulurkan tangan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Bila orang-orang yang sudah diambang putus asa itu tersenyum berkat bantuan yang kita berikan dengan tulus dan penuh kasih sayang, maka pada saat itulah kita dapat merasakan keberadaan diri kita di dunia ini.

Berikan bantuan semampu kita. “If you cannot do great thing, you can do small things with great love. – Jika Anda tidak dapat melakukan hal besar, Anda dapat melakukan hal kecil dengan penuh cinta,” kata bunda Theresa menganjurkan. Karena segala bentuk pertolongan yang kita berikan sekecil apapun bentuknya pasti kembali kepada kita berlipat ganda.

Salah satu diantara sekian banyak manfaat memberikan pertolongan kepada orang lain adalah kita disukai oleh orang yang sudah kita beri pertolongan. Sementara itu tindakan memberikan pertolongan dengan tulus dan penuh kasih sayang akan menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagi kita.

Sebuah pepatah bijak menyebutkan, “Live a good honorable life. Then, when you get old and think back, you’ll get to enjoy it a second time. – Ciptakan kehidupan yang bermakna. Hingga saat tua nanti Anda mengingatnya maka akan menikmatinya sekali lagi.” Memberi adalah sumber kebahagian, saat yang membuat kita merasa sangat kaya melebihi segala yang ada di dunia ini.

BERS AHABAT DENGAN MASALAH



Adi W Gunawan


“If a problem doesn’t kill you, it will make you stronger.”

Seorang kawan mengeluh, ”Pak, saya kok sering kena masalah ya? Padahal saya ini sudah rajin berdoa, selalu positive thinking, tidak pernah bikin susah orang lain, suka menolong orang lain, jujur dalam bekerja, dan nggak neko-neko. Kenapa ya Pak? Apa masalah saya? Saya sudah bosan kena masalah terus.”

”Wah, selamat ya,” balas saya.

”Lho, bagaimana sih Pak Adi ini. Saya punya banyak masalah kok malah diberi selamat. Senang ya Pak kalau lihat orang susah?” kawan saya balik bertanya dan agak jengkel.

“Sabar...sabar... bukan begitu maksud saya. Jangan tersinggung dong,” jawab saya cepat sambil berusaha menenangkan kawan saya ini.

Nah, pembaca, apa yang saya tulis di artikel ini merupakan hasil obrolan saya dan kawan saya.

Masalah. Setiap orang pasti punya masalah. Setiap hari kita pasti berhadapan dengan masalah. Kita berusan dengan masalah. Kita mendapat masalah. Kita membuat masalah. Kita bahkan bisa jadi sumber masalah. Masalah terbesar adalah kalau kita tidak tahu bahwa masalah kita adalah kita merasa tidak punya masalah.

Pembaca, waktu Anda mengalami masalah, bagaimana reaksi Anda?

Apakah Anda marah? Jengkel? Sakit hati? Frustrasi? Takut? Menyalahkan diri sendiri? Atau Anda cenderung untuk menyalahkan orang lain?

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa saya menggunakan judul ”Bersahabat Dengan Masalah”. Apa nggak salah, nih? Kita kok diminta bersahabat dengan masalah?

Benar. ”Masalah” sebenarnya adalah hal yang sangat positif. Mari kita bahas terlebih dahulu makna di balik kata ”masalah”. Masalah, yang dalam bahasa Inggris adalah ”problem”, ternyata mempunyai akar kata yang maknanya sangat berbeda dengan yang kita pahami selama ini.

Akar kata ”problem” berasal dari bahasa Yunani, proballein, yang bila ditelusuri lebih jauh mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw. Jadi, problem berarti bergerak maju. Problem berarti kesempatan untuk maju dan berkembang.

Sewaktu pertama kali mengetahui bahwa akar kata problem, proballein, artinya bergerak maju, saya sempat terhenyak dengan perasaan kaget dan takjub. Sungguh luar biasa dan sungguh benar. Coba kita renungkan bersama. Masalah sebenarnya adalah suatu simtom yang menunjukkan adanya suatu penyebab atau akar masalah. Justru dengan seringnya seseorang mendapat “masalah”, bila orang ini cukup bijak dan jujur pada dirinya sendiri, ia akan berkembang dan bisa lebih maju.

Lha, kok bisa begini?

Pernahkah Anda, atau mungkin orang yang Anda kenal, mendapat atau mengalami masalah?

Jawabannya, “Sudah tentu pernah.”

Pertanyaan saya selanjutnya, “Apakah masalah yang dialami Anda mirip dengan masalah sebelumnya?”

Jika kita mau bersikap jujur dan jeli dalam mengamati maka seringkali masalah yang kita alami sifatnya “mengulang” masalah sebelumnya. Ada kemiripan atau kesamaan. Bentuk masalahnya bisa berbeda namun polanya sama.

Satu contoh. Ada seorang wanita yang putus dengan pacarnya. Ia marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan bersumpah akan mencari pasangan yang jauh lebih baik. Namun kenyataannya? Ia mendapatkan pacar baru yang mempunyai karakter yang serupa dengan mantan pacarnya.


Ada lagi seorang pengusaha besar, kawan saya, berulang kali kena tipu. Sekali kena tipu jumlahnya nggak main-main. Bukan puluhan juta tapi ratusan juta. Dan ini terjadi berulang kali.

Seorang kawan yang lain seringkali ribut dengan istrinya hanya karena hal-hal sepele. Misalnya hanya karena si istri memencet pasta gigi tidak dari bawah, tetapi dari tengah, ia marah besar. Sebaliknya si istri walaupun telah diberitahu suaminya tetap mengulangi pola perilaku yang sama.

Masalah yang kita hadapi sebenarnya menunjukkan ”level” kita. Siapa diri kita sebanding dengan masalah yang kita hadapi. Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita untuk mengatasinya? Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya?

Masalah atau problem sebenarnya guru sejati yang seringkali kita abaikan. Kebanyakan orang mengalami masalah yang serupa atau berulang karena mereka tidak belajar dari masalah yang pernah mereka alami.

Ibarat anak sekolah bila kita tidak naik kelas, karena nilai ujian kita jelek, maka kita akan mengulang di level atau kelas yang sama. Tidak mungkin guru akan menaikkan kita ke kelas berikutnya. Mengapa? Lha, soal ujian di level ini saja kita nggak lulus apalagi kalau diberi soal ujian level di atasnya.

Kita harus mengulang, tidak naik kelas, dengan harapan kita akan belajar, meningkatkan diri, dan akhirnya mampu mengerjakan soal ujian dengan benar. Dengan demikian kita ”lulus” ke kelas berikutnya.

Saat tidak naik kelas, bukannya belajar dari ”masalah” ini, banyak yang malah membuat masalah baru dengan menjadi marah, frustrasi, dan menyalahkan guru atau sekolah. Anda pernah bertemu dengan orang seperti ini?

”Ah, itu kan anak sekolah. Memang harusnya begitu,” ujar kawan saya.

Lho, kita ini kan juga anak sekolah. Kita sekolah di Sekolah Kehidupan. Kehidupan adalah tempat kita belajar. Untuk maju kita harus menjadi pembelajar seumur hidup atau life long learner.

Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya kurang setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya pengalaman adalah guru terbaik bila itu pengalaman orang lain. Jadi, kita belajar dan mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan dengan menelaah dan mempelajari pengalaman orang lain dan kita terapkan untuk kemajuan hidup kita. Lha, lebih baik mana, Anda kena tipu Rp 1 miliar atau Anda belajar dari pengalaman orang lain yang tertipu Rp 1 miliar dan Anda gunakan pengetahuan ini untuk melindungi diri Anda agar tidak mengalami masalah yang sama?

Pengalaman adalah guru yang terbaik bila kita dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang kita alami. Kebanyakan orang mengalami ”pengalaman” hanya sekadar mengalami. Mereka tidak memetik pelajaran atau manfaat apa pun dari pengalaman (baca: masalah) mereka.

OK. Sekarang sudah jelas bahwa kita bisa belajar dari masalah. Tapi bagaimana caranya?

Ada empat langkah mujarab untuk mengatasi setiap masalah dalam hidup:
1. Mengakui adanya masalah
2. Setiap masalah pasti ada sumber atau akar masalahnya
3. Bila akar masalah ditemukan maka masalah dapat dipecahkan
4. Jalan keluar untuk menyelesaikan masalah

Contoh konkritnya?


Mari kita analisis kasus yang dialami kawan saya. Itu lho, yang bolak-balik kena tipu ratusan juta rupiah.

Langkah pertama adalah mengakui atau menerima bahwa ia punya masalah. Ia harus berani mengakui dan memutuskan untuk mengubah hal ini. Masalahnya adalah ia berkali-kali kena tipu. Banyak orang yang bila mendapat masalah, hanya bisa berdoa, pasrah, nrimo, dan berkata bahwa masalah mereka adalah bentuk cobaan dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa masalah yang mereka alami, karena merupakan cobaan dari Tuhan, maka Tuhan-lah yang harus mengubah keadaan ini. Saya tidak setuju dengan pandangan ini. Bukankah ada tertulis bahwa Allah tidak akan membantu mengubah nasib umat-Nya apabila umat-Nya tidak bersedia mengubah nasib mereka sendiri.

Langkah kedua adalah memahami bahwa masalah (simtom) yang ia alami pasti ada sumber atau akar masalah. Dan akar masalahnya bukan terletak di luar dirinya, misalnya ia tertipu karena kelihaian si penipu dalam meyakinkan dirinya sehingga mau meminjami uang, tapi akar masalahnya terletak di dalam dirinya.

Langkah ketiga, bila akar masalah yang ada di dalam dirinya berhasil ditemukan, maka ia dapat mengatasi masalahnya.

Langkah keempat adalah memilih solusi terbaik yang akan digunakan dalam mengatasi masalah. Setelah sukses melakukan empat langkah di atas maka ia dapat memetik hikmah dari apa yang ia alami.

Sekarang akan saya uraikan langkah demi langkah yang dilakukan kawan saya.

Langkah 1. Masalah: Saya tertipu ratusan juta berkali kali.

Langkah 2. Saya menyadari bahwa akar masalah terletak di dalam diri saya.

Langkah 3. Akar masalah saya adalah belief yang menyatakan bahwa saya adalah kasirnya Tuhan.

Langkah 4. Saya mengubah belief saya, dari kasirnya Tuhan menjadi Fund Manager uangnya Tuhan. Saya akan mengelola uang yang dipercayakan kepada saya dengan hati-hati karena saya harus mempertanggungjawabkan uang ini setiap akhir tahun buku.

Hikmah yang didapat dari masalah ini adalah bahwa apa yang ia alami dipengaruhi oleh belief-nya. Setiap belief mengakibatkan konsekuensi tertentu. Cara paling tepat untuk mengevaluasi apakah suatu belief bermanfaat atau justru merugikan diri kita bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh belief-belief itu terhadap hidup kita.

Selama seseorang masih tetap memegang belief yang sama maka ia akan mendapat hasil yang sama. Tidak mungkin terjadi seseorang mendapat hasil yang berbeda dengan belief yang sama. Einstein menjelaskan dengan sangat tepat saat ia berkata, ”Insanity is doing the same thing over and over but expecting different result.”[awg]

* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology,pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller “Born to be a Genius”, “Genius Learning Strategy, Manage Your Mind for Success”, “Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?”, “Hypnosis – The Art of Subcsoncsious Communication”, “Becoming a Money Magnet”, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, dan “Hypnotherapy: The Art of Subconscious Restructuring”. Adi dapat dihubungi melalui email adi@adiwgunawan.com dan www.adiwgunawan.com.




BELAJARLAH UNTUK SELAMANYA


“Learning is like rowing against the current, as soon as you stop, you are swept back. – Belajar layaknya berenang melawan arus. Bila Anda berhenti seketika itu pula Anda akan terdorong ke belakang.”
~ Confucius

Ungkapan Confucius menegaskan agar kita tidak berhenti belajar. Seseorang yang berpotensi besar mempunyai masa depan cerah di era globalisasi modern ini adalah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan. Hanya dengan belajar atau selalu memperbanyak bendahara ilmu pengetahuan maka proses pertumbuhan dalam kehidupan kita dapat terus berlangsung. “Meski miskin seorang yang berilmu akan tetap berharga,” demikian tandas Iukuzawa Yukichi (1835-1901) yang hidup di zaman Sakoku (Isolasi). Untuk itu coba kita perhatikan beberapa langkah agar semangat dan kemauan belajar kita terus berkobar.

Yang pertama adalah menanamkan dalam pikiran kita bahwa ilmu pengetahuan itu sangat penting berapapun usia dan bagaimanapun keadaan kita. Seiring dengan perubahan sebagai hasil dari inovasi tehnologi, maka masalah juga akan terus berkembang. Karena itulah kita perlu belajar untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan agar dapat mengatasi persoalan-persoalan yang terus berkembang tersebut dengan lebih baik.

Dari sebuah berita di media cetak saya membaca kisah tentang seorang tokoh lansia bernama Plaut. Meskipun sudah berusia 88 tahun tetapi ia tidak kehilangan semangat untuk belajar teologi, sejarah dan bahasa Perancis di Universitas Toronto. Selama 12 tahun menempuh pendidikan, ia dinyatakan lulus pada tanggal 11 Juni 1990, di usianya yang ke 100 tahun. Saat diwisuda, ia dinyatakan sebagai alumni berusia tertua.

Dari sebuah media elektronik nasional diberitakan tentang Mansur yang mengikuti ujian kesetaraan paket B pada tanggal 26 Juni hingga 28 Juni 2007. Dengan kendaraan pinjaman tetangga, Mansur, ayah dua anak itu, bersama rekan yang lain berangkat ke pusat belajar-mengajar Bintang Terang Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mansur dan 238 peserta ujian lainnya bertekad untuk mengubah hidup.

Berita lain juga menyebutkan tentang para narapidana yang masih bersemangat menuntut ilmu. Di Lembaga Pemasyarakatan Parepare, Sulawesi Selatan, terdapat 38 narapidana baru-baru ini mengikuti ujian paket A atau setara sekolah dasar. Belasan penghuni LP Sukabumi, Jawa Barat juga serius saat mengikuti ujian paket A. Di Lapas Muara Padang, Sumatara Barat terdapat sekitar 28 napi mengikuti ujian paket B atau setara sekolah menengah pertama. Bagi mereka, tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Semangat mereka masih tinggi untuk terus belajar, karena mereka merasa perlu untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Semangat untuk belajar juga dapat terus kita pupuk bila kita memiliki kerendahan hati. Contohnya Confucious pada 2.500 tahun yang lalu menyatakan, “Di antara 3 orang berkumpul pasti ada seorang yang bisa menjadi guruku.” Dunia sudah mengakui dirinya sebagai seorang filosof yang jenius, tetapi ungkapan tersebut menunjukkan kerendahan hatinya yang masih merasa perlu untuk terus belajar.



Sementara itu, kesediaan belajar tanpa tujuan yang jelas justru menyia-nyiakan waktu dan mengurangi antusiasme belajar. Karenanya tetapkan fokus untuk mempelajari bidang tertentu dalam rentang waktu tertentu pula. Misalnya jika tahun ini Anda ingin mendalami ilmu pengetahuan tentang kepemimpinan, maka Anda akan berusaha mencari sumber informasi tentang segala hal yang berkaitan dengan ilmu kepemimpinan entah melalui internet, buku, seminar dan lain sebagainya.

Dengan demikian, Anda akan mengetahui banyak hal secara mendalam tentang materi yang sedang Anda pelajari. Semakin banyak yang Anda ketahui akan membuat Anda termotivasi untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Sebagaimana sebuah pepatah bijak menyebutkan, “The more you know, the less you get. – Semakin Anda mengetahui, maka Anda semakin merasa tidak mengerti.”

Selanjutnya miliki sikap konsisten dengan apa yang sudah dipelajari. Sebuah ilmu pengetahuan sebaik apapun hanya akan menjadi wacana yang sia-sia dan tidak berpengaruh terhadap semangat belajar jika tidak kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jim Rohn mengemukakan tentang pentingnya menerapkan ilmu pengetahuan yang kita ketahui.

“We must learn to apply all that we know so that we can attract all that we want. – Kita harus belajar untuk menerapkan apa yang kita ketahui, sehingga kita dapat menarik segala sesuatu yang kita inginkan,” ungkapnya.

Demikian pula kata Confucius, “The essence of knowledge is, having it, to apply it; not having it, to confess your ignorance. – Nilai ilmu pengetahuan adalah dengan memiliki dan menerapkannya, bukan sekedar memilikinya untuk memenuhi ketidaktahuan saja.”

Kita akan mencapai kemajuan pesat di segala bidang bila kita konsisten menerapkan ilmu pengetahuan yang kita miliki. Ilmu pengetahuan tentang mode, politik, keagamaan, tehnik, dan lain sebagainya tak hanya menjadi wacana di pusat-pusat pendidikan. Dengan melaksanakan semua ilmu pengetahuan yang kita miliki kedalam kehidupan sehari-hari, maka semangat belajar kita akan terus meningkat.

Selain cara-cara yang saya uraikan di atas, sebenarnya masih banyak cara lain yang dapat kita tempuh untuk menjaga semangat belajar kita. Yang terpenting adalah tetap mengupayakan belajar kapanpun dan bagaimanapun kondisi kita agar ilmu pengetahuan atau wawasan dan kualitas berpikir kita senantiasa lebih baik. Dengan demikian, kita tak hanya mampu melakukan tindakan-tindakan yang relevan dengan perubahan yang terus terjadi tetapi juga mampu menjangkau cita-cita tertinggi.[aho]

* Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator dan penulis buku-buku bestseller. Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com.



CARA MUDAH MENJALANI KEHIDUPAN

Andrew Ho

“We spend too much time making a living and too little time making and living. – Kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memenuhi tuntutan kehidupan tetapi terlalu sedikit waktu untuk menikmati hidup dan menjadikannya lebih berarti.”
~ Rachei Dillon

Kita memang sering terjebak dengan bermacam kesibukan dan tak sempat menikmati kehidupan ini atau menjadikannya lebih berarti. Sehingga hidup ini serasa melelahkan. Untuk itu saya menulis sebuah buku yang membahas solusi mempermudah kehidupan, berjudul Simplify Your Life With Zen. Tidak saya sangka, para pembaca menyambut hangat kehadiran buku tersebut.

Kemudian muncul banyak pertanyaan. Intinya mereka menanyakan apakah mungkin kita menjalani kehidupan dengan mudah di jaman yang serba sulit ini? Jawabnya kita sangat mungkin menjalani hidup dengan mudah, asalkan kita memahami dan mengerti caranya.

Langkah pertama untuk menjalani kehidupan dengan mudah adalah sesering mungkin bersyukur kepada Tuhan YME atas segala karunia yang sedang kita nikmati saat ini. Jangan selalu berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak kita miliki. Banyak bersyukur kepada Tuhan YME akan membantu kita mendapatkan optimisme dan semangat untuk menjangkau impian yang belum berhasil kita wujudkan.

Rasa syukur terhadap Tuhan YME adalah sumber aura positif yang akan tercermin dalam sikap dan kalimat-kalimat kita. Aura positif tersebut merupakan magnet yang akan menarik segala sesuatu yang positif pula. Sehingga hal itu akan sangat mempengaruhi tingkat mudah dan tidaknya kita menjalani kehidupan ini.

Langkah kedua yang dapat memudahkan kita dalam menjalani kehidupan ini adalah tidak memaksakan diri seperti orang lain. Berbesarlah hati menerima bagaimanapun kondisi kita dengan segala tanggung jawab yang harus kita jalankan. Itu bukan berarti kita tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik, melainkan agar kita lebih mudah memfokuskan diri hanya untuk menunaikan tanggung jawab sebaik mungkin agar dapat menuai hasil semaksimal mungkin.

Sementara itu, sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan dan kekurangan, dalam kehidupan sehari-hari sering pula terbersit pikiran negatif. Jika hal itu terjadi, segeralah mengenyahkan pikiran negatif yang terlintas di dalam benak kita, agar kita senantiasa melihat sisi positif atau manfaat dibalik kejadian atau situasi yang sedang kita hadapi. Karena pikiran negatif itu hanya akan membebani langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.

Kemudian belajarlah untuk ikhlas melepaskan apa yang sudah pernah kita miliki, setelah kita puas berupaya maksimal. Hidup akan terasa lebih ringan jika kita menerima penurunan kondisi fisik akibat bertambahnya usia, penurunan omset bisnis akibat berbagai gejolak krisis, berkurangnya respon dari orang lain karena sudah memasuki masa pensiun, dan lain sebagainya. Hiduplah dalam realitas diri kita dengan lapang dada, dan jangan menganggapnya sebagai coban hidup yang berat. Dengan cara itu, hidup kita akan terasa lebih ringan dijalani.

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri. Sehingga kita harus mempunyai kemauan untuk terus belajar banyak hal melalui berbagai cara, misalnya lewat internet, orang lain, seminar, buku dan lain sebagainya. Jika kita mempunyai ilmu atau wawasan yang lebih luas, maka sikap kita akan lebih terbuka dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan. Sehingga kita tak hanya mudah menjalani kehidupan, melainkan menjadikan segala sesuatu dalam kehidupan kita menjadi jauh lebih baik.

Faktor lain yang dapat meringankan langkah kita dalam menjalani kehidupan ini adalah memiliki hubungan sosial yang baik dan luas. Bahkan dikatakan bahwa dalam jaringan sosial yang baik dan luas tersimpan berbagai peluang yang menguntungkan dan memungkinkan kita untuk mewujudkan bermacam impian. Sehingga langkah lain yang harus kita tempuh agar lebih mudah menjalani kehidupan ini adalah menciptakan hubungan sosial yang baik dengan siapa pun dan tanpa tendensi apa pun.

Sementara itu, luangkan waktu untuk bersama dan memberikan perhatian kepada orang-orang tercinta. Curahan kasih sayang bersama orang-orang tercinta dalam berbagai aktifitas sederhana sekalipun, misalnya; saat makan, berkebun, bermain dengan anak-anak, membantu pasangan menyelesaikan tugas, merupakan sumber kedamaian dan keteduhan. Pengalaman menyenangkan selama beraktifitas dengan orang-orang tercinta akan menjadi inspirasi dan semangat baru yang meringankan langkah-langkah kita dalam menjalani kehidupan ini.

Jangan pula membiarkan stres atau depresi menggangu kesehatan dan ketentraman hidup kita. Hal itu akan menjadikan kehidupan kita serasa berat dan sulit. Oleh sebab itu, luangkanlah waktu untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan YME atau bermeditasi untuk introspeksi diri atau mengevaluasi langkah-langkah yang sudah kita lakukan. Kekuatan spiritual merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan hakiki, sehingga kita mampu bersikap lebih tabah, sabar, tenang dan optimis dalam menjalani kehidupan dengan langkah-langkah yang lebih baik.

Sebenarnya masih banyak langkah-langkah memudahkan kita menjalani kehidupan ini, yang secara garis besar menekankan pada keseimbangan kekuatan intelegensi, emosional dan spiritual serta keseimbangan pemenuhan kebutuhan materi, kesehatan, maupun hubungan sosial. Tetapi bila kita konsisten hanya dengan melaksanakan ke-9 langkah di atas, dipastikan kita dapat menjalani kehidupan ini dengan mudah. Lakukan saja tanpa menunda, dan rasakan dalam waktu relatif singkat kehidupan ini terasa jauh lebih mudah.[aho]

* Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku-buku best seller.Kunjungi websitenya di : www.andrewho-uol.com.

MENGAPA LIBURAN PERLU

Andrew Ho


Beristirahat sejenak menjadikan kita mampu menempuh perjalanan lebih jauh.

Sebuah penelitian tentang perilaku manusia menyatakan bahwa rata-rata manusia menghabiskan waktu 25 tahun untuk tidur. Sedangkan 8 tahun lainnya untuk menyelesaikan pendidikan formal, 6 tahun untuk istirahat atau sakit, 7 tahun untuk liburan dan rekreasi. Sementara, 5 tahun waktu manusia habis untuk berkomunikasi, 4 tahun untuk makan, dan 3 tahun untuk melakukan persiapan semua aktivitas tersebut.

Tetapi pada perkembangan selanjutnya, manusia modern saat ini cenderung lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja. Kecenderungan tersebut terjadi dikarenakan desakan era yang serba cepat dan persaingan yang ketat. Persepsi manusia terpola bahwa kehidupan akan lebih berarti jika setiap detik waktu dimanfaatkan hanya untuk bekerja. Tak ada jeda waktu istirahat dianggap lebih efektif, karena jeda waktu istirahat apalagi berlibur dianggap sebagai pemborosan, membosankan, merugikan, dan persepsi negatif lainnya.

Bagi saya, era yang menuntut kita bergerak serba cepat bukan berarti kita tak membutuhkan jeda waktu untuk istirahat. Manusia memerlukan waktu istirahat untuk mengumpulkan energi supaya dapat menjalankan tugas berikutnya dengan lebih baik. Pada kenyataannya memang saya rasakan bahwa waktu liburan membuat saya lebih segar sehingga bersemangat bekerja dan lebih produktif.

Contohnya liburan pada hari Lebaran tahun ini sengaja saya habiskan bersama keluarga. Kurang lebih 10 hari, saya juga melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan para ibu rumah tangga, di antaranya membersihkan rumah, mencuci piring, membantu istri memasak, dan lain sebagainya. Sementara anak-anak saya memasak makanan favorit mereka. Ternyata mereka juga gemar membuat makanan dan es krim. Saya merasakan suasana dalam keluarga semakin mesra dan hangat.

Selama liburan kami benar-benar menikmati situasi yang berbeda. Kami sekeluarga melakukan berbagai aktivitas di luar rutinitas sehari-hari. Saya setiap pagi berolahraga, bermain bersama anak-anak, mengajak anak-anak bermain air di Waterbom Jakarta, nonton film, makan dan minum kopi di Starbucks. Liburan membuat kami memiliki kesempatan lebih banyak untuk beristirahat dan menyegarkan pikiran

Selama liburan saya juga mempunyai banyak waktu untuk menikmati film-film kesukaan. Banyak sekali manfaat yang saya dapatkan dari aktivitas tersebut, selain menghilangkan penat, saya pun memetik pelajaran hidup, motivasi, ide, ataupun inspirasi. Ternyata banyak nilai-nilai kehidupan yang penting, dan liburan membuat saya memiliki cukup waktu untuk introspeksi diri, belajar, memikirkan dan berusaha lebih baik di masa berikutnya.

Sementara itu, liburan membuat saya memiliki waktu untuk bersantai. Di saat seperti itu tiba-tiba saya kembali mengingat kenangan, kerabat dan teman yang telah lama terlupakan lantaran terlalu sibuk dengan berbagai aktivitas. Saat itulah saya mencoba menjalin kembali kominikasi. Alhasil terjalin lagi persahabatan dan terajut lagi kebahagiaan seperti yang telah kami lalui dulu.

Bagi saya, jeda waktu untuk beristirahat merupakan kesempatan yang luar biasa dalam proses perjalanan kehidupan ini. Saya menganggapnya penting, karena nilai sebuah kehidupan bukanlah sekadar mengejar materi melainkan pentingnya berhenti sejenak untuk menikmati keindahan, introspeksi, dan bersyukur. Sehingga pada tahap selanjutnya, semangat, efektivitas dan produktitas kerja kita meningkat.

Ternyata liburan juga memiliki banyak sekali manfaat unik yang tak hanya kami rasakan. Sudah banyak orang yang melakukan penelitian tentang manfaat liburan dan menyatakan manfaat liburan bagi kesehatan dan keuntungan-keuntungan lain yang bisa kita dapatkan. Salah satunya adalah Linda Hoopes dan John Lounsbury, peneliti Departemen Psikologi Universitas Tennessee, yang menyatakan bahwa kepuasan hidup akan meningkat setelah liburan.

Itulah mengapa liburan selalu menjadi saat yang ditunggu, bahkan banyak orang sengaja menjadwal liburan dalam periode waktu tertentu. Jika Anda merasa penat tidak bersemangat dan kurang produktif, segeralah merencanakan sebuah liburan. Semoga Anda mendapatkan semua manfaat liburan.[aho]

* Andrew Ho adalah seorang pengusaha, motivator, dan penulis buku best-seller.

Membangun Portal "Web" Murah


Amir Sodikin


Seberapa murah membangun portal web kualitas perusahaan? Berapa pun biaya yang dimiliki, asal sudah memiliki nama domain seperti www.namakamu.com, sebenarnya sudah bisa membangun portal web. Harga domain dot com sekarang berkisar Rp 80.000-Rp 100.000 per tahun. Sangat terjangkau.

Untuk hosting (ruang file di hardisk server), server lokal Indonesia memang mahal. Namun, jangan khawatir, di tengah ekspansi perusahaan hosting Amerika Serikat, hosting makin murah dan bahkan ada yang gratis.

Dengan demikian, hanya dengan biaya mulai Rp 100.000 per tahun, plus semangat belajar membangun portal sendiri, sudah bisa memiliki portal web profesional yang citranya berbeda dengan website a la weblog atau Multiply yang gratisan itu.

Dalam hal fungsi dan kemampuannya, software portal web berbeda dengan content management system (CMS). Namun, di Indonesia kedua istilah ini dianggap sama karena akhirnya merujuk website interaktif dan memiliki alur kerja otomatis.

Membuat portal web berarti memasang software CMS di dalam website kita. Kali ini software CMS dibatasi pada software gratis dari open source yang berbasis bahasa pemrograman PHP dan database MySQL.

"Software" gratis

Sepuluh tahun lalu banyak proposal bernilai miliaran rupiah, baik di instansi swasta maupun pemerintah, yang ingin membangun portal web. Dikiranya, membangun portal web harus membangun server sendiri, membuat jaringan online sendiri, dan merekrut barisan programmer serta desainer sendiri.

Sekarang, situasi seperti itu sudah berlalu. Teknologi server yang canggih dan murah serta makin kuatnya software open source memberi kontribusi utama. Dengan adanya open source gratis, membangun website tak harus memulai membuat software dari nol.

"Website pakai software open source? Bagaimana dengan security-nya? Enggak keren ah pake gratisan. Bagaimana kalau nanti ada masalah?" masih banyak deretan pertanyaan yang menyangsikan open source.

Jangan khawatir, puluhan tahun open source telah berhasil merekrut "pendekar-pendekar" yang pakar di bidang masing-masing. Mereka bekerja tanpa dibayar. Jika ada masalah terhadap software itu, para pendukung open source seluruh dunia bahu-membahu menangani.

Tradisi open source puluhan tahun telah menempa para pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa itu untuk berkompetisi meningkatkan keamanan. Software open source yang sudah establish secara tradisi juga memiliki pengalaman panjang untuk diserang para cracker.

Karena itu, memilih open source yang establish dalam konteks ini lebih aman dan murah meriah dibandingkan dengan harus membangun program dari nol.

Karena berbiaya rendah, untuk membangun portal web biasanya hanya diputuskan dalam hitungan menit, bukan dalam hitungan hari, bulan, apalagi tahun. Para pembuat portal web berlomba-lomba untuk merebut traffict pengunjung.

Karena itu, jangan heran kalau di Indonesia saja hampir semua tema sudah digarap. Tiap hari bisa lahir puluhan portal web baru yang berkompetisi.

Dengan CMS, pekerjaan mengirim berita, foto, video, pengumuman, iklan, dan materi lain akan terstruktur dan terotomatisasi oleh sistem. Sistem keanggotaan, sistem pencarian database internal, statistik pengunjung, sistem survei, rating tulisan, blog, chat, radio online, sistem komentar tulisan, forum, galeri foto, dan masih banyak yang semuanya terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri.

Ciri CMS terletak pada struktur kerja yang terotomatisasi. Jika web Anda sampai sekarang masih mengirim foto secara manual, misalnya fullscreen dan foto kecil atau thumbnail dibuat manual, berarti software itu belum memenuhi kaidah CMS.

CMS sejuta umat

The Packt Open Source CMS Award 2007 (packtpub.com) akhir Oktober lalu telah menobatkan Joomla (jomla.org) sebagai Best PHP Open Source CMS, disusul Drupal (drupal.org), dan e107 (e107.org).

Joomla tergeser posisinya oleh Drupal dalam kategori juara umum atau Overall Open Source CMS. Drupal urutan pertama, disusul Joomla, dan CMS Made Simple (cmsmadesimple.org).

Urutan Most Promising Open Source CMS adalah MODx (modxcms.com), TYPOlight (typolight.org), dan dotCMS (dotcms. org). Best Other Open Source CMS adalah mojoPortal (mojoportal.com), Plone (plone.org), dan Silva (infrae.com/products/silva). Best Open Source Social Networking CMS adalah WordPress (wordpress.org), Drupal, dan Elgg (elgg.org).

Drupal dikenal sebagai CMS "clean" desain dan powerfull untuk semua jenis web. Walau juara umum dipegang Drupal, tak terbantahkan bahwa Joomla masih menjadi "CMS sejuta umat", paling banyak digunakan karena mudah dioperasikan.

Joomla memang banyak mencuri perhatian, tetapi tak semua menganggap Joomla pilihan terbaik untuk semua kebutuhan. Masih banyak CMS gratis yang cocok untuk kebutuhan yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, memilih CMS itu seperti memilih "ideologi". Karena itu, sebelum memilih cobalah dulu fasilitasnya.

Amir Sodikin

Seberapa murah membangun portal web kualitas perusahaan? Berapa pun biaya yang dimiliki, asal sudah memiliki nama domain seperti www.namakamu.com, sebenarnya sudah bisa membangun portal web. Harga domain dot com sekarang berkisar Rp 80.000-Rp 100.000 per tahun. Sangat terjangkau.

Untuk hosting (ruang file di hardisk server), server lokal Indonesia memang mahal. Namun, jangan khawatir, di tengah ekspansi perusahaan hosting Amerika Serikat, hosting makin murah dan bahkan ada yang gratis.

Dengan demikian, hanya dengan biaya mulai Rp 100.000 per tahun, plus semangat belajar membangun portal sendiri, sudah bisa memiliki portal web profesional yang citranya berbeda dengan website a la weblog atau Multiply yang gratisan itu.

Dalam hal fungsi dan kemampuannya, software portal web berbeda dengan content management system (CMS). Namun, di Indonesia kedua istilah ini dianggap sama karena akhirnya merujuk website interaktif dan memiliki alur kerja otomatis.

Membuat portal web berarti memasang software CMS di dalam website kita. Kali ini software CMS dibatasi pada software gratis dari open source yang berbasis bahasa pemrograman PHP dan database MySQL.

"Software" gratis

Sepuluh tahun lalu banyak proposal bernilai miliaran rupiah, baik di instansi swasta maupun pemerintah, yang ingin membangun portal web. Dikiranya, membangun portal web harus membangun server sendiri, membuat jaringan online sendiri, dan merekrut barisan programmer serta desainer sendiri.

Sekarang, situasi seperti itu sudah berlalu. Teknologi server yang canggih dan murah serta makin kuatnya software open source memberi kontribusi utama. Dengan adanya open source gratis, membangun website tak harus memulai membuat software dari nol.

"Website pakai software open source? Bagaimana dengan security-nya? Enggak keren ah pake gratisan. Bagaimana kalau nanti ada masalah?" masih banyak deretan pertanyaan yang menyangsikan open source.

Jangan khawatir, puluhan tahun open source telah berhasil merekrut "pendekar-pendekar" yang pakar di bidang masing-masing. Mereka bekerja tanpa dibayar. Jika ada masalah terhadap software itu, para pendukung open source seluruh dunia bahu-membahu menangani.

Tradisi open source puluhan tahun telah menempa para pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa itu untuk berkompetisi meningkatkan keamanan. Software open source yang sudah establish secara tradisi juga memiliki pengalaman panjang untuk diserang para cracker.

Karena itu, memilih open source yang establish dalam konteks ini lebih aman dan murah meriah dibandingkan dengan harus membangun program dari nol.

Karena berbiaya rendah, untuk membangun portal web biasanya hanya diputuskan dalam hitungan menit, bukan dalam hitungan hari, bulan, apalagi tahun. Para pembuat portal web berlomba-lomba untuk merebut traffict pengunjung.

Karena itu, jangan heran kalau di Indonesia saja hampir semua tema sudah digarap. Tiap hari bisa lahir puluhan portal web baru yang berkompetisi.

Dengan CMS, pekerjaan mengirim berita, foto, video, pengumuman, iklan, dan materi lain akan terstruktur dan terotomatisasi oleh sistem. Sistem keanggotaan, sistem pencarian database internal, statistik pengunjung, sistem survei, rating tulisan, blog, chat, radio online, sistem komentar tulisan, forum, galeri foto, dan masih banyak yang semuanya terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri.

Ciri CMS terletak pada struktur kerja yang terotomatisasi. Jika web Anda sampai sekarang masih mengirim foto secara manual, misalnya fullscreen dan foto kecil atau thumbnail dibuat manual, berarti software itu belum memenuhi kaidah CMS.

CMS sejuta umat

The Packt Open Source CMS Award 2007 (packtpub.com) akhir Oktober lalu telah menobatkan Joomla (jomla.org) sebagai Best PHP Open Source CMS, disusul Drupal (drupal.org), dan e107 (e107.org).

Joomla tergeser posisinya oleh Drupal dalam kategori juara umum atau Overall Open Source CMS. Drupal urutan pertama, disusul Joomla, dan CMS Made Simple (cmsmadesimple.org).

Urutan Most Promising Open Source CMS adalah MODx (modxcms.com), TYPOlight (typolight.org), dan dotCMS (dotcms. org). Best Other Open Source CMS adalah mojoPortal (mojoportal.com), Plone (plone.org), dan Silva (infrae.com/products/silva). Best Open Source Social Networking CMS adalah WordPress (wordpress.org), Drupal, dan Elgg (elgg.org).

Drupal dikenal sebagai CMS "clean" desain dan powerfull untuk semua jenis web. Walau juara umum dipegang Drupal, tak terbantahkan bahwa Joomla masih menjadi "CMS sejuta umat", paling banyak digunakan karena mudah dioperasikan.

Joomla memang banyak mencuri perhatian, tetapi tak semua menganggap Joomla pilihan terbaik untuk semua kebutuhan. Masih banyak CMS gratis yang cocok untuk kebutuhan yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, memilih CMS itu seperti memilih "ideologi". Karena itu, sebelum memilih cobalah dulu fasilitasnya.

Rabu, 05 September 2007

Mendidik "Technopreneur"


Misalkan saja Anda berusia 20-an tahun dan mengawali perusahaan internet pertama Anda. Lalu katakan 21 bulan kemudian Anda menjualnya seharga 1,65 miliar dollar AS. Apa yang terjadi berikutnya? ("Time", ’Persons of the Year’, 2006-2007)

Kutipan di atas dari majalah Time tatkala mengisahkan situs YouTube yang fenomenal dan pendirinya, Steve Chen, Chad Hurley, dan Jawed Karim. Diperlihatkan pula bagaimana ketiga pemuda itu merancang konsep awal YouTube di garasi Chad. YouTube kemudian sukses besar pada tahun 2006. Alasannya banyak, tetapi satu yang bisa disebut khusus adalah karena ia unggul, tapi juga mudah, satu kombinasi yang langka. Anda bisa menonton video di situs tersebut tanpa perlu mengunduh perangkat lunak apa pun atau bahkan mendaftar. Di Amerika, YouTube untuk menonton video diibaratkan sama dengan Wal-Mart Supercenter untuk belanja. Semua ada di sana dan Anda tinggal masuk saja.

Ketika akhir tahun silam YouTube digelontor dengan 65.000 video baru setiap harinya, jumlah video yang bisa ditonton pun menggelembung, dari 10 juta per hari pada tahun sebelumnya, menjadi 100 juta.

Selain memperlihatkan bagaimana multiplikasi informasi terjadi, fenomena tersebut juga membuat dunia menoleh kepada sosok-sosok pendiri perusahaan. Lalu tampaklah bagaimana sosok Chad Meredith Hurley yang berdarah seni ternyata juga punya minat besar terhadap bisnis dan teknologi. Bagaimana keberhasilannya di PayPal mempertemukan dirinya dengan Steve Chen dan Jawed Karim, dua insinyur di PayPal, yang kemudian bersepakat dengan dirinya untuk mendirikan perusahaan baru (start-up). Dalam perkembangan kemudian, memang ada ketegangan dalam hubungan Karim (27) dengan kedua pendiri YouTube lainnya. Ini membuat sejarah perusahaan itu lalu ikut disederhanakan, dengan hanya disebutkan, ide pendirian YouTube muncul tahun 2005 saat Chad dan Steve kesulitan berbagi video yang mereka ambil secara online saat santap malam di apartemen Steve.

Apa pun yang terjadi di antara ketiga orang muda yang terkait dengan YouTube di atas, yang jelas YouTube berkembang menjadi perusahaan sukses yang kemudian dibeli raksasa Google, Oktober 2006 dengan nilai 1,65 miliar dollar AS.

Semestinya sukses YouTube, sebagaimana sukses Apple, Amazon, dan deretan start-up lainnya mengilhami orang muda tidak saja di Amerika, tetapi juga di belahan dunia lainnya. Namun, agar lingkungan menjadi kondusif bagi munculnya apa yang dikenal sebagai wirausahawan teknologi atau technopreneur ini rupanya dibutuhkan sejumlah syarat.

Ketika memberi kuliah perdana di Universitas Media Nusantara (UMN) di Jakarta, 3 September lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh menyebut salah satunya, yakni masa kritis. Menurut Menteri, di Indonesia memang sudah ada banyak ahli ICT (teknologi informasi dan komunikasi/TIK), tetapi jumlah itu dirasa belum mampu menimbulkan efek yang terasakan.

Menteri Nuh mengibaratkan kondisi yang ada sekarang sebagai mobil di tanjakan, tidak merosot tetapi juga tidak bisa naik.

Dari segi masa kritis, jumlah SDM TIK harus ditambah, dalam hal ini melalui pendidikan. Dalam kondisi kesenjangan digital yang sudah akut dewasa ini antara negara maju dan negara berkembang, jumlah lulusan memang harus dipacu. Para lulusan juga harus bisa menjadi orang yang mampu memengaruhi agar semakin banyak warga masyarakat yang melek TIK dan bisa memanfaatkannya.

Pendidikan kewirausahaan

Pada kesempatan yang sama, pendiri UMN Dr (HC) Jakob Oetama kembali mengulangi pentingnya pendidikan sebagaimana terkandung dalam semangat culture matters yang akhir-akhir ini sering ia kemukakan. Menurut hasil seminar Harvard yang kemudian dibukukan hasilnya, dan disunting oleh Lawrence Harrison dan Samuel Huntington (2000), nilai budaya berperan penting bagi kemajuan bangsa. Bangsa Korea (Selatan) berkembang maju dibandingkan dengan Ghana meski keduanya berada dalam kondisi serupa pada tahun 1960. Dalam pengantar buku, Huntington menyebutkan, di Korea berkembang nilai-nilai budaya yang membuatnya tumbuh maju dan di antara nilai-nilai tersebut adalah pendidikan, selain disiplin, menghargai waktu, dan berorientasi kepada kemajuan.

Seperti disampaikan Menteri Nuh, pemerintah pun berkepentingan agar pendidikan maju, masyarakat Indonesia maju. Ini antara lain coba dilakukan dengan membangun dan meluaskan jaringan komunikasi dengan Palapa Ring, yang tahun 2008 coba diwujudkan untuk wilayah Indonesia timur. Melalui program Universal Service Obligation (USO), pemerintah juga akan memperluas akses telekomunikasi bagi desa-desa di Indonesia yang berjumlah 72.000, tetapi 38.000 di antaranya masih merupakan blank spot.

Setelah ide disosialisasikan, prasarana dibangun, pendidikan diselenggarakan, lalu bagaimana dengan munculnya technopreneur? Ini tentu persoalan lain.

Pembicara lain pada kuliah perdana UMN, Indra Sosrojoyo, menyampaikan peluang yang terbuka dalam industri TIK yang dapat dipilih mahasiswa. Ia juga dengan tepat mengawali kuliah dengan bertanya, siapa yang ingin menjadi technopreneur. Dalam jawaban pertama, mahasiswa yang mengangkat tangan 25 persen, tetapi meningkat jadi sekitar 40 persen saat ia mengulangi pertanyaannya.

Pekan silam, ketika menulis tentang Iskandar Alisjahbana, kolom ini juga menyinggung pentingnya jiwa entrepreneurship. Dalam hal ini, perguruan tinggi tidak cukup hanya menjadi penghasil gelar ningrat akademis. Ia harus berhenti sebagai menara gading dan membuka peluang bagi civitas academica-nya untuk menumbuhkan inkubator, seperti yang dipercontohkan oleh MIT dan Stanford University di AS. Memang, tidak sedikit tentangan yang muncul menanggapi gagasan ini, dari tahun 1970-an hingga hari ini. Namun, tampaknya, ada urgensi aktual bagi pendekatan baru untuk lulusan universitas saat ekonomi masih lesu dan lapangan kerja langka dewasa ini.

Dalam konteks culture matters yang diangkat oleh Jakob Oetama, melalui praktik kewirausahaan dapat dikembangkan nilai-nilai budaya yang dibutuhkan untuk mencapai kemajuan, seperti disiplin, ulet, dan menghargai waktu.

Tepat pernyataan Menteri Nuh bahwa memiliki visi kemajuan penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah menjawab tantangan yang ada di depan mata sekarang ini.

Rabu, 29 Agustus 2007

Iskandar, Palapa, dan Visi Iptek

NINOK LEKSONO


Dunia mengagumi Amerika, yang sukses mengombinasikan "daya juang meneliti" ilmuwan dan sifat "berani mengambil risiko" wirausahawan. (Sambutan Iskandar Alisjahbana selaku Ketua Majelis Wali Amanah ITB, 2000)

Sungguh tepatlah kalau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memberikan Penghargaan Sarwono Prawirohardjo kepada dua tokoh Indonesia, Prof Dr Emil Salim dan Prof Dr Ing Iskandar Alisjahbana, 22 Agustus. Dalam pengantarnya, Kepala LIPI Umar A Jenie menyebutkan, advokasi Emil Salim telah membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan, sedangkan Iskandar dinilai berjasa karena merintis inovasi teknologi yang kemudian mewujud pada Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa.

Kiprah dan pemikiran Emil Salim telah disampaikan di harian ini pada 22 Agustus dan "Forum Iptek" kali ini ingin mengangkat kembali visi Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa yang pernah dilontarkan oleh Iskandar dan menegaskan kembali betapa pentingnya visi masa depan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) seperti yang telah diperlihatkan Iskandar.

Empat dekade silam

Sebagai negara kepulauan dengan rentang geografi sekitar 5.300 kilometer, Indonesia tentu dihadapkan pada tantangan komunikasi yang luar biasa. Solusi terestrial, solusi kabel laut, telah membantu pengembangan komunikasi Tanah Air. Namun, keduanya membutuhkan upaya besar, lebih-lebih jika mengingat sifat geografis Indonesia yang archipelago, dengan wilayah terdiri dari pulau-pulau yang terpisah oleh laut.

Solusi dengan teknologi maju saat itu muncul, yaitu ketika perusahaan Telesat Kanada mempersiapkan satelit komunikasi domestik. Dengan meluncurkan satelit Anik A1 dengan roket Delta pada November 1972, Kanada menjadi negara pertama yang mengoperasikan SKSD. SKSD dipandang sebagai sistem yang andal, efektif, dan canggih (situs Telesat Kanada). Satelit Anik mengorbit di orbit geostasioner pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer.

Di belahan dunia lain, pada 14 September 1968, ada cendekiawan Indonesia yang juga mencetuskan penggunaan sistem komunikasi satelit dalam pidato pengukuhan guru besar di Institut Teknologi Bandung. Dengan visi yang ia sampaikan itu, Iskandar melihat Indonesia dipersatukan oleh teknologi canggih yang tepat guna karena ia bisa mempersatukan penduduk yang tersebar di negara 17.500 pulau ini dengan prasarana telekomunikasi dan, karena itu, menumbuhkan rasa kebangsaan mereka.

Pemerintah mewujudkan gagasannya. Proyek satelit pun dimulai dan akhirnya berpuncak dengan peluncuran satelit Palapa A1, 8 Juli 1976. SKSD Palapa kemudian diresmikan Presiden Soeharto, 16 Agustus 1976. Dibandingkan dengan satelit komunikasi mutakhir dewasa ini, Palapa A1 tampak primitif karena hanya bisa menyalurkan siaran televisi dan SLJJ pada 40 kota di Indonesia. Namun, Palapa sudah menjadi lompatan teknologi bagi negara yang saat itu punya pendapatan per kapita 125 dollar AS (Buyung Wijaya Kusuma/Warnet 2000, 8 November 2005).

Indonesia saat itu menjadi negara ketiga di dunia setelah Kanada dan AS yang memanfaatkan satelit untuk sistem komunikasi domestik. China dan India, yang kini menjadi negara hebat di bidang ekonomi dan teknologi antariksa, pun waktu itu belum memikirkan untuk mengoperasikan SKSD.

Gagasan meluncurkan satelit untuk merevolusi komunikasi tampak visioner dan Pemerintah RI tampak penuh percaya diri menerapkan teknologi maju ini meskipun saat itu bangsa Indonesia belum makmur.

Visi iptek

Setelah Palapa, dalam perkembangan pemikiran kemudian, Iskandar mendapat banyak ilham dari tesis futuris Alvin Toffler mengenai Gelombang Peradaban (A Toffler, Third Wave, 1980). Selain meyakini bahwa Gelombang Ketiga—yang dicirikan oleh dominansi sejumlah teknologi, yakni bioteknologi dan rekayasa genetika, nuklir dan energi terbarukan, komunikasi dan pengolahan data, serta penerbangan dan eksplorasi ruang angkasa, yang semuanya memperlihatkan diri dengan nyata dewasa ini—Iskandar juga mengantisipasi sejumlah teknologi yang kini telah siap muncul di horizon.

Teknologi yang dimaksud antara lain adalah nano, superkonduktivitas suhu tinggi, dan fusi dingin. Teknologi nano yang kini semakin banyak ditelaah di Indonesia telah banyak ia kupas sejak tahun 1980-an. Wacana yang ia kemukakan waktu itu antara lain "bagaimana kita harus merespons munculnya pabrik yang bersih lingkungan dan efisien, mampu bekerja 24 jam nonstop?"

Kembali pada SKSD yang ia cetuskan, Palapa kini telah digantikan generasi satelit komunikasi yang lebih hebat, seperti Telkom-2, yang selain mampu menjadi tulang punggung transmisi (untuk SLJJ, SLI, internet, dan komunikasi militer), juga bisa untuk siaran (TV, radio, telekonferensi), dan akses (internet, distant learning, bisnis Vsat [untuk perbankan dan pertambangan]).

SKSD memperlihatkan keandalannya ketika terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami karena dapat terus berfungsi ketika jaringan terestrial hancur terkena bencana, seperti saat gempa di Aceh (2004) dan Taiwan (2006). Dengan Palapa—yang oleh Mark Crawford, wartawan ABC Radio, NSW, Australia, disebut "infrastrukturnya infrastruktur karena menjadi tulang punggung bagi industri telekomunikasi dan siaran TV"—ada semacam revolusi komunikasi di negeri ini.

Keyakinan terhadap pemanfaatan teknologi maju antariksa juga dapat dikatakan visioner karena sekarang ini pun mulai tampak upaya negara maju untuk meningkatkan eksplorasi ruang angkasa, baik sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing nasional maupun sebagai persiapan ke depan menyongsong satu masa ketika Bumi sudah tak mampu lagi menopang kehidupan sehingga manusia harus mencari ranah baru di the last frontier di luar Bumi.

Namun, sebelum itu, seorang Iskandar masih memegang visi yang "membumi". Dalam sambutannya ketika menerima penghargaan dari LIPI, Iskandar menegaskan lagi bahwa industri bioteknologi punya peluang untuk berkembang di Indonesia dan bersaing di tingkat global karena Indonesia memiliki sumber daya genetik melimpah.

Dalam perkembangan selanjutnya, lebih-lebih ketika menghadapi masa sulit seperti sekarang ini, bangsa Indonesia akan terus membutuhkan sosok visioner seperti Iskandar Alisjahbana dan Emil Salim, yang mampu dengan jernih melihat ke depan dan memberi saran kepada pemerintah dan para pemimpin mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dalam hal ini memilih iptek yang paling jitu untuk membangun dan menyejahterakan bangsa Indonesia.

Pemerintah telah memilih enam bidang untuk menjadi lokomotif riset dan pengembangan. Namun, dalam pelaksanaannya, saran Iskandar dapat menjadi pegangan. Saran itu adalah agar peneliti dan lembaga penelitian meninggalkan "falsafah menara gading". Menurut Iskandar, Stanford University dan Massachusetts Institute of Technology telah lama meninggalkan falsafah di atas dan memberi dorongan bagi munculnya knowledge-economy yang berasal dari riset yang diuji di medan nyata, yakni pasar (Lihat sambutan Iskandar selaku Ketua MAW ITB, 2000, dalam Krisnamurti.net/Kompas, 23/8).

Visi kita pun hendaknya mengarah pada apa yang telah dicapai Amerika, yang bisa mengombinasikan "daya juang meneliti" ilmuwan dan sifat "berani mengambil risiko" wirausahawan, dan bukan bangsa yang hanya bisa mencetak "bangsawan" ilmu pengetahuan bertitel "ningrat akademis", tetapi tidak mampu berbuat apa-apa saat terpuruk.

Selasa, 26 Juni 2007

Komersialisasi Pendidikan
Oleh SOEROSO DASAR

KOMERSIALISASI pendidikan sudah bukan bahaya melainkan kenyataan, yang lebih mencolok dalam gejala yang disebut "pajak atas kebodohan". Cukup banyak perguruan tinggi yang uang pangkalnya berbanding lurus dengan ketidakpintaran (kebodohan) calon mahasiswanya. Makin besar angka peringkatnya, semakin bodoh dan semakin besar pula uang pangkal yang harus dikeluarkan.

Dari pada tidak diterima (karena memang tidak mampu menempuh seleksi masuk perguruan tinggi), ia dibujuk dengan uang pangkal yang tinggi, tentu saja jumlahnya jutaan rupiah. Jadi, ia didenda berat karena ada kekurangan yang melekat padanya. Yang pasti, kegugurannya masuk seleksi perguruan tinggi secara normal, di siasati dengan berbagai cara. Saat ini, populer dengan sebutan program jalur.

Banyak orang dibujuk membayar tinggi untuk menebus kegagalannya. Kalau realitasnya demikian, manusiawikah tindakan seperti itu? Begitu tulis J. Drost S.J. pada majalah Prisma dengan judul "Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan". Kegalauan Drost yang muncul tahun 90 itu, seperti luka yang tidak sembuh-sembuh. Rekomendasinya adalah perguruan tinggi baru bisa berperan apabila unsur paling dasar kehidupan akademik, harus membawa serta nilai. Karena, nilai berarti ada harganya. Sesuatu yang dihargai, sering membuat pengorbanan. Kehidupan manusia tanpa nilai, bukan kehidupan insani. Karena, nilai menentukan mutu dan martabat hidup.

Diskusi "Kualitas Pendidikan Indonesia, Dilihat dari Perspektif Hukum dan Sosial Kemasyarakatan" ("PR", 12 Mei 2007), kembali menguak masalah komersialisasi pendidikan. Diskusi yang dilakukan di salah satu ruangan di Unpad itu, salah seorang pembicara mempertanyakan bagaimana kaum duafa mampu memperoleh pendidikan tinggi, apabila biaya pendidikan semakin mahal. Dengan berbagai jalur, perguruan tinggi mampu menyerap dana segar dari masyarakat.

Pledoi (pembelaan) yang dikedepankan oleh perguruan tinggi, tentu saja sudah dapat ditebak yakni subsidi silang. Dana segar dengan jalur tertentu yang disedot oleh perguruan tinggi diinvestasikan kembali, dengan harapan mahasiswa dari keluarga duafa yang masuk pada jalur yang lain dapat menikmati fasilitas tersebut. Kondisi ini, dipicu oleh dana untuk dunia pendidikan yang dikucurkan pemerintah sangat terbatas. Pemerintah belum mampu melaksanakan amanat yang tertuang pada UUD 45 pasal 7 ayat 4. Tetapi, di antara ketidakmampuan pemerintah itu, decak kagum kita sampaikan kepada Pemkot Tangerang yang telah mengucurkan dana pendidikan sebesar 42% dari APBD pada tahun 2005 dan 31% pada tahun 2006.

Dari persentase itu pun di luar gaji guru. Sungguh suatu kebijakan yang luar biasa. Mungkin kegalauan para pengamat pendidikan dan sosial adalah, benarkah subsidi silang dari dana segar itu dilaksanakan secara benar. Jangan-jangan sebagian dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak mempunyai signifikan terhadap kualitas pendidikan. Kekhawatiran itu wajar-wajar saja karena dana yang diserap relatif sangat berarti. Di salah satu universitas negeri saja, untuk Fakultas Kedokteran biaya pengembangan pendidikan mencapai Rp 175 juta, Fakultas Ekonomi Rp 40 juta, FKG Rp 40 juta, Farmasi Rp 35 juta, belum lagi fakultas lainnya. Kalau dijumlahkan semuanya akan muncul juga angka yang fantastis. Tetapi, penulis tetap berprasangka baik (khusnuzon) kepada para pengelolanya. Seperti wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya: bergaullah dengan orang-orang berilmu, karena Allah menghidupkan hati mereka melalui cahaya hikmah.

Pendidikan yang selama ini cenderung hanya bertakhta pada otak manusia dan kurang mengiraukan aspek keadilan serta nilai-nilai Ilahi, telah membuat sepertiga planet bumi menjadi orang kaya, sedangkan sisanya (dua pertiga) adalah penduduk miskin. Bahkan, Indonesia pada saat sekarang ini dengan kriteria Bank Dunia penduduk miskinnya lebih dari seratus juta orang.

Konon, semuanya ini adalah produk-produk orang yang mengenyam pendidikan tinggi, karena di pundak merekalah strategi pembangunan, kebijakan, dan keputusan diletakkan. Gaya pendidikan yang cenderung hanya mengembangkan otak kiri tanpa memperdulikan pengembangan otak kanan, juga telah menghasilkan generasi kronis dan terjadinya split personality". Tidak ada keseimbangan antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, sehingga tidak ada integrasi antara otak dan hati. Negeri ini yang lebih menekankan nilai akademik, kurang memberikan bobot kepada masalah kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip-prinsip kepercayaan, penguasaan diri, atau sinergi, telah membentuk manusia Indonesia seperti yang kita saksikan saat ini.

Satu kualitas sumber daya manusia yang patut dipertanyakan. Manusia yang buta hati, dengan krisis moral yang tajam. Pada sisi lain pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai religius tidak di pahami atau dimaknai secara mendalam, tetapi lebih pada tataran dan pendekatan simbol-simbol dan acara ritual. Fenomena ini dengan telanjang kita saksikan bagaimana pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Investasi yang besar di dunia pendidikan (human investment), yang dilakukan apabila keluar dari roh pendidikan itu sendiri alangkah celakanya. Karena, manusia yang dibangun bukan manusia yang berempati terhadap proses pembangunan yang sedang terjadi, tetapi serigala-serigala ganas dan buas yang tidak pernah puas untuk menindas manusia lainnya. Apabila niat suci subsidi silang dengan membidik dua segmen calon mahasiswa dan mampu meramu proses pendidikan yang bermoral, yang mempunyai hati nurani, yang bermutu, maka pembukaan jalur tertentu dengan menyedot dana segar dari masyarakat tidaklah terlalu keliru. Apalagi jalur tersebut dilakukan juga dengan cara proses seleksi yang jujur.

Inilah salah satu terobosan untuk terus mengupayakan agar pendidikan di negeri ini semakin bermutu dan mampu berbicara pada ranah internasional. Orang-orang berilmu itu dan manusia-manusia yang telah memutuskan pilihan hidupnya di dunia pendidikan agaknya perlu membaca apa yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim Al Jaujiyyah, dalam bukunya Taman-taman Orang Jatuh Cinta: Orang berilmu ibarat tanah yang siap diinjak oleh orang yang baik dan buruk, atau seperti hujan yang turun membasahi kepada orang yang suka dan tidak suka. Orang berilmu tidak layak disebut sebagai orang berilmu, kecuali bila ia dianugerahi kerajaan, ia tidak akan berpaling dari Allah. Orang berilmu adalah orang yang lemah lembut di hadapan Allah, tetapi tegar di hadapan selain Allah. Sedangkan Dzun an-Nun al Mishri mengatakan: Segala sesuatu mempunyai kesudahan atau akhir dan kesudahan orang berilmu tatkala ia berhenti berzikir kepada Allah.

Dalam Megatrends 2000 Jhon Naisbitt dan Patricia Abburdene mencatat bagaimana peran-peran orang berilmu, orang-orang jebolan pendidikan tinggi memberikan konstribusi terhadap proses pembangunan. Jhon Naisbitt tetap memberikan dukungan penuh terhadap dinamika pendidikan, yang memberikan keseimbangan antara kedua otak yang ada sehingga prinsip-prinsip demikian lebih egaliter dan menghargai arti kehidupan. Karena diyakini bahwa kehidupan yang dijalani dengan warna spiritualisasi, akan menuai keberhasilan dan kebahagiaan.

Oleh karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita menemukan banyak orang-orang yang suci, sufi, mistikus, bukan hanya di tempat-tempat ibadah orang Islam, Nasrani, Buddha. Tetapi mereka bertebaran di berbagai fakultas yang ada di perguruan tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang mampu menggerakkan dinamika perguruan tinggi secara jujur, arif, serta terhormat dan bermutu, sehingga cita-cita kehadiran perguruan tinggi di negeri ini benar-benar bermakna bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung.

Jangan sampai perguruan tinggi menyimpang dari the idea of on university. Karena, seorang mujahid adalah yang haus dan dahaga untuk mencicipi ilmu, maka setiap insan sadar bahwa Rasulullah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. ***

Penulis, peneliti senior PPK-PPSDM Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.