Jumat, 06 Juni 2008

Wajah Lain China

A Dahana
Wen Jiabao adalah ahli geologi. Tentunya ia faham betul tentang pergeseran lapisan bumi dan tentang segala hal yang menyangkut gempa. Karenanya, tak lama setelah gempa berskala besar menimpa Propinsi Sichuan pada 21 Mei lalu, dia turun tangan memimpin kegiatan penyelamatan para korban pasca bencana.

Dengan menggunakan megafon yang tak pernah lepas di tangannya, ia berteriak memberi semangat kepada para korban yang tengah dikeluarkan oleh regu penyelamat dari reruntuhan. “Bertahanlah anak-anakku. Aku Ngkong Wen Jiabao. Kami akan menyelamatkan kalian,” katanya dengan lantang.

Apa yang dilakukan Wen dengan ‘turun ke bawah’ sungguh mengagumkan. Tak lain lantaran ia Perdana Menteri yang biasanya selalu menjaga jarak dengan rakyat kebanyakan. Kalaupun bukan dia yang sengaja memelihara jarak itu, orang-orang di sekelilingnyalah yang melakukan itu. Alasannya, tentu saja sekuriti.

Hal yang dilakukan Wen sungguh berlawanan dengan sikap pemerintah China ketika menghadapi serangan internasional dalam menghadapi krisis di Tibet. Yakni dengan menutup segala informasi bagi dunia luar mengenai hal yang dilakukan aparat keamanan China yang menurut tuduhan media internasional melakukan pelanggaran berat HAM di wilayah krisis itu.

Paling tidak ada dua tafsiran mengenai apa yang dilakukan Wen. Kalau melihat pada karakter Wen, tindakan yang dilakukannya di tengah para korban gempa Sichuan bukan sesuatu yang baru. Semasa mudanya, atau sampai sekitar 19 tahun silam, Wen adalah seorang yang dekat dengan mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC), Zhao Ziyang yang reformis dan sekarang sudah jadi mendiang itu.

Salah satu adegan yang paling dikenang orang adalah menjelang Peristiwa Juni 1989. Ketika itu Zhao dengan cucuran air mata memohon kepada para mahasiswa untuk berhenti melakukan mogok makan dan segera meinggalkan tempat itu karena tentara akan segera menyerbu. Namun, para aktifis mahasiswa bersikeras untuk tetap tinggal di sana. Ketika Zhao membujuk para mahasiswa untuk segera angkat kaki, Wen berada di sampingnya.

Pada waktu itu, Wen tak lain salah satu staf ahli yang berada di sekeliling Zhao dalam rangka mendorong China untuk lebih terbuka dan lebih maju lagi menjalankan reformasi. Adalah suatu keajaiban bahwa Wen selamat dari pembersihan yang dilakukan kaum konservatif setelah Zhao terjungkal dari kekuasaan dan berada dalam tahanan rumah sampai akhir hayatnya.

Dari adegan Wen berada di tengah para korban gempa pada Mei 2008 dan ketika ia mendampingi Zhao pada Juni 1989 yang terukir dalam ingatan orang, tersimpul pandangan bahwa Wen adalah orang yang penuh dengan perasaan empati. Ia tokoh politik yang selalu bersimpati terhadap kaum yang sedang dalam kesusahan. Dan ia tak segan meninggalkan tata cara protokol dan peraturan keamanan demi menolong manusia.

Namun, ada pandangan lain yang menyimpulkan, apa yang dilakukan Wen tak lain dari jurus kehumasan belaka. Menurut asumsi ini, China yang tengah bersiap menyelenggarakan Olimpiade, belajar banyak dari kasus krisis Tibet.

Ketertutupan terhadap media internasional untuk memberikan informasi yang benar-benar obyektif tentang kebijakan politik, ekonomi, dan sosial di Tibet telah banyak merugikan. Bahkan Olimpiade pun nyaris mendapat gangguan dengan adanya ancaman dari beberapa negara untuk tak berpartisipasi dalam Olimpiade 2008.

Sejalan dengan pandangan ini bisa muncul tuduhan bahwa negeri yang dikuasai partai tunggal itu memang melakukan apa yang dering disebut sebagai ‘moralitas ganda’. Artinya, di satu sisi ia melakukan tindakan diskriminatif terhadap golongan minoritas di Tibet.

Tindakan ini, menurut tuduhan tersebut, berupa kebijakan asimilasi paksa terhadap etnik Tibet antara lain dengan migrasi besar-besaran orang Han ke wilayah itu. Pemerintah China juga dituduh telah melakukan rekayasa sosial yang telah mencabut orang Tibet dari akar budayanya.

Sedangkan di sisi lain, pemerintah sangat memperhatikan nasib para korban gempa Sichuan yang nota bene adalah orang Han. Itu dibuktikan dengan kehadiran Wen Jiabao di tengah para korban bencana alam.

Akan tetapi, sikap pemerintah China yang memberikan akses kepada media, para peninjau, dan para dermawan internasional dalam menangani kasus pasca gempa Sichuan, patut mendapat acungan jempol. Pertanyaannya, apakah China dan Partai Komunis China telah berubah?

Penulis adalah Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: