Senin, 17 Maret 2008

Konosuke Matsushita

oleh : Ary Ginanjar Agustian
Pendiri dan Pemimpin ESQ Leadership Center


Matsushita Electric Industrial Ltd (MEI) adalah penghuni urutan ke-59 deretan 500 Forbes Global 2007, dan masuk 20 teratas penjual semikonduktor dunia. Dengan pendapatan US$88,9 miliar (Rp801 triliun) dan 328.645 orang pegawai, tahun ini MEI memasuki era baru perjuangan tanpa akhir yang dimulai Konosuke Matsushita 89 tahun silam. Januari lalu, MEI mengumumkan perubahan nama korporat menjadi Panasonic Corporation per 1 Oktober nanti.

Ada kredo yang tidak bakal berubah pada MEI atau Panasonic, yaitu setiap pagi para karyawan mengucapkan Tujuh Prinsip: Kontribusi pada Masyarakat; Keadilan dan Kejujuran; Kerjasama dan Semangat Tim; Upaya tak Kenal Lelah untuk Perbaikan; Kesopanan dan Kerendahan Hati; Keluwesan; Bersyukur. Itulah nilai-nilai korporat yang dirumuskan mendiang Matsushita, sang pendiri.

Bagi orang Jepang yang terkenal sebagai pekerja keras, kredo itu bagian penting dalam meresapkan nilai-nilai korporat ke dalam jiwa setiap pekerja. Mereka percaya akan kedahsyatan magic power of repetition. Dengan pengucapan setiap hari oleh semua pekerja, nilai-nilai itu diharapkan terjelma menjadi kultur korporat.

Konosuke Matsushita lahir pada 27 November 1894 di desa pertanian Wasa, Provinsi (Perfektur) Wakayama. Dia sebetulnya putra seorang tuan tanah. Namun, harta keluarganya ludes karena keputusan investasi yang kurang cermat dari sang ayah dalam spekulasi perdagangan beras. Di usia sangat belia, sembilan tahun, Matsushita terpaksa dikirim bekerja ke Osaka, menjadi tukang reparasi sepeda.

Tak lama berselang, susul-menyusul kedua orangtuanya, lalu dua saudaranya, meninggal dunia. Hidup sebatang kara, di satu sisi, membuat jiwa kemandirian Matsushita tertempa. Tapi di sisi lain, tak ada pembimbing yang menularkan kepadanya ajaran atau nilai yang berlaku di masyarakat. Pada 1910, saat usianya 16 tahun, Matsushita pindah kerja menjadi asisten pemasangan kabel di Perusahaan Lampu Elektrik Osaka.

Itu tidak lazim, karena orang Jepang diajari untuk setia pada majikan seumur hidup. Matsushita hanya melihat pekerjaan barunya menjanjikan masa depan lebih baik. Dan, sikap independen itu kelak terbukti menjadi bekal pentingnya menjadi orang sukses.

Di tempat baru, Matsushita tidak bertahan lama. Menikah pada 1915 dengan Mumeno Iue, dia lalu mendirikan pabrik peralatan listrik Matsushita tiga tahun kemudian. Mula-mula, pabrik soket lampu listrik itu hanya diawaki tiga orang: dia sendiri, istri, dan adik iparnya, Toshio Iue. Tertatih-tatih dia membangun bisnis. Sempat nyaris tersungkur, hingga harus menggadaikan kimono sang istri untuk mendapatkan modal segar. "Itu tahun yang mencekam," kenangnya.

Lebih murah

Pintu suksesnya mulai terbuka ketika dia mengembangkan soket yang bisa dijual 30% lebih murah dari produk kompetitor. Saat itu usianya 27 tahun. Bisnisnya terus berkembang. Pegawainya mencapai 10.000 orang ketika Perang Dunia II meletus.

Namun, dia segera terantuk lagi dengan penghalang. Sebagai pihak yang kalah perang, Jepang harus tunduk pada aturan Sekutu pimpinan Amerika Serikat, yang mengharuskan demokratisasi dan demiliterisasi Negeri Sakura. Bagian dari langkah itu adalah pembubaran perusahaan-perusahaan dari golongan zaibatsu-klan-klan finansial besar yang berkoalisi dengan para pemimpin militer dalam kekuasaan Jepang pasca Shogun Tokugawa. Sialnya, pabrik Matsushita ada dalam daftar pembubaran.

Di sinilah, Matsushita membuktikan diri sebagai pemimpin yang dicintai. Penyelamatan datang dari serikat buruh yang pendiriannya disponsori AS untuk mengenalkan demokrasi. Delegasi buruh Matsushita silih berganti berarak ke Tokyo. Mereka berusaha meyakinkan penguasa kolonial bahwa bos mereka adalah anak miskin non-zaibatsu, majikan yang penuh kebajikan, yang bertujuan memerbaiki kehidupan masyarakat.

Hasilnya, Matsushita lolos dari daftar penghapusan. Dalam buku Matsushita: Lessons from the Life of the Twentieth Century's Most Remarkable Entrepreneur (1989), John Kotter menjelaskan bahwa Matsushita melakukan "apa yang dilakukan oleh semua pemimpin besar-yakni memotivasi kelompok besar individu untuk memerbaiki kondisi manusia."

Matsushita, yang wafat pada 1989, tak hanya seorang pebisnis, tetapi juga guru dan filsuf yang telah menulis 46 judul buku. Pada 3 November 1946, pada masa-masa sulit pascaperang, dia mendirikan Institut Perdamaian dan Kebahagiaan Melalui Kemakmuran atau Peace and Happiness Through Prosperity (PHP).

Di lembaga yang disebutnya "mainan orangtua" itulah, Matsushita biasa menghabiskan waktu dari Selasa sampai Jumat untuk berdiskusi dengan para peneliti. Hari Senin, dia rutin menghadiri konferensi bisnis di kantor MEI. Tema pokok diskusinya di PHP adalah cara terbaik memanfaatkan sumber daya bagi kemakmuran dan kebahagiaan untuk semua.

"Yang pertama, kita harus benar-benar tahu apa itu manusia. Jika seseorang ingin memelihara kambing, dia harus belajar tentang sifat kambing. Jadi, dengan rendah hati, saya ingin belajar tentang sifat manusia," kata Matsushita.

Matsushita bukan pengikut agama atau sekte apa pun. Namun, jelas kalimat di atas mencerminkan kesadaran tinggi akan jati diri dan (karena itu) nilai kecerdasan spiritual diri. Suatu hari pada Maret 1932, setelah berkali-kali menolak secara halus undangan seorang tamu sekaligus pelanggan yang datang ke kantornya, Matsushita akhirnya tergugah datang ke kuil Sekte Tenrikyo di Tokyo, kini dikenal dengan nama Tenri City.

Dia terkejut dengan begitu banyaknya bangunan milik kelompok itu, dengan ukuran dan kualitas arsitekturnya, dan kerapihan halamannya. Di dalamnya ada sekolah yang mengasuh 5.000 murid, perpustakaan dengan koleksi yang mengagumkan, bengkel pembuatan perabotan kayu dan banyak lagi.

Namun, perhatian Matsushita lebih terpikat pada orang-orang dan semangat mereka bekerja serta ketakziman mereka beribadah. Semua orang mendermakan waktu, tak menerima upah, tetapi bekerja dengan antusias. Dari kunjungan itu Matsushita menarik satu kesimpulan: "Jika sebuah korporasi bisa dijadikan seberarti sebuah agama, orang-orang akan puas dan lebih produktif."

Soal uang, inilah posisi Anda

oleh : Mike R. Sutikno
Mike Rini & Associates- Financial Counselling & Education


Rambut bisa sama hitam, tetapi pendapat boleh berbeda, begitulah juga dalam mengelola uang. Kita bekerja keras setiap hari untuk mendapatkan penghasilan, beberapa dari kita bahkan mendapatkan lebih besar dibandingkan yang lainnya.

Namun, bagaimana cara menggunakannya berbeda. Ada yang cenderung menghabiskan uangnya segera, menyimpannya untuk digunakan lagi di masa depan. Beberapa orang cenderung terus-menerus menyimpan uangnya, dan hanya sedikit yang bisa mendayagunakannya. Kecenderungan inilah yang akan membagi para pengguna uang menjadi beberapa tipe.

Tidak semua tipe penggunaan uang langsung menempatkan Anda dalam kategori kebebasan finansial. Dengan mengetahui siapa diri Anda sekarang, akan membantu memetakan arah untuk mencapai posisi yang diinginkan pada masa datang.

Looser = Pecundang

Looser adalah orang yang kecanduan dan candunya adalah uang. Pada saat ketagihan, dia akan menghabiskan apa pun yang dimilikinya dan bahkan yang tidak dimilikinya. Pengeluarannya selalu lebih besar daripada penghasilannya karena memperturutkan ketergantungan yang amat sangat pada uang untuk mengobati sesuatu.

Setiap orang mempunyai lubang di hatinya, tetapi looser hanya mampu mengisinya dengan uang. Lubang itu dapat berupa apa saja - kesepian, dendam, atau rendah diri yang memicu emosi berlebihan.

Jika tidak terkendali orang menjadi butuh pelampiasan dengan berbagai macam cara. Untuk melampiaskan kemarahan, kesedihan atau kekecewaan, looser melampiaskannya dengan berbelanja. Semakin marah, sedih, kecewa maka semakin banyak belanjaannya.

Looser membutuhkan lebih banyak uang untuk mengatasi rasa sakitnya. Mereka selalu kekurangan, dan untuk menutupinya mereka mengambil dari tempat lain. Tipe pecundang arus kasnya selalu negatif atau defisit.

Kekurangan inilah yang ditutup dengan cara berutang. Akibatnya jika arus kas negatif terus menerus, jumlah beban utang juga bisa semakin berat. Looser tipikal yang selalu bangkrut. Prinsipnya, hidup akan berjalan baik-baik saja jika bisa mendapat lebih banyak uang atau lebih banyak utang

Shopper = Pembelanja

Ketika menerima uang, segera saja uang itu berubah menjadi belanja bulanan, tagihan telepon, listrik, air, gaji pembantu, iuran pensiun atau tabungan pendidikan anak. Seakan-akan uang dalam bentuk aslinya sebagai uang sangatlah mengganggu sehingga tipe shopper segera menukarnya dengan bentuk lain.

Satu-satunya yang bisa menghentikan mereka adalah kalau uangnya habis. Buat pembelanja, mereka akan baik-baik saja selama pengelurannya tidak lebih dari penghasilannya. Tidak heran mereka selalu mengeluh tidak punya uang, bahkan pada saat gajian sekalipun. "Gaji cuma numpang lewat." Prinsip hidupnya segala sesuatu akan baik-baik saja asal impas.

Tidak seperti looser yang berbelanja melebihi takaran, tipe pembelanja bahkan enggan berutang. Shopper merencanakan penggunaan uangnya dengan cermat dan mereka cukup cerdas untuk berhenti ketika uang habis.

Pengeluaran mereka selalu sama besarnya dengan penghasilan mereka. Jika penghasilan naik, secara alamiah pengeluaran naik juga. Penghasilan dan pengeluaran seperti saling berkejaran. Tidak peduli berapa kalipun sudah kenaikan gaji terjadi, sulit sekali mengumpulkan uang untuk tidak digunakan.

Penghasilan yang ada sekarang jika tidak habis untuk biaya hidup masa sekarang, pasti akan digunakan untuk suatu tujuan keuangan tertentu di masa depan, misalnya membayar biaya pendidikan anak, membayar biaya hidup pensiun atau menunaikan ibadah Haji.

Keeper = Penyimpan

Kehilangan uang menakutkan. Semakin besar jumlahnya semakin menakutkan. Saya kira begitulah juga motivasi orang menabung. Kalau dipikir-pikir kegiatan menabung itu sama sekali tidak menyenangkan. Buat apa kita mendapatkan uang tetapi tidak dibelanjakan? Tetapi buat keeper jika berbelanja membuatnya kehilangan uang maka dia perlu untuk tidak menghabiskannya. Kehilangan uang membuat tipe keeper tidak aman, dan menyimpannya akan menetralisir rasa tidak aman.

Keeper tidak kesulitan untuk membayar kebutuhan hidupnya di masa sekarang. Dia juga akan mampu membiayai berbagi tujuan keuangan tertentu yang ingin dicapainya di masa depan. Di luar itu keeper bahkan menyimpan lebih banyak - untuk dirinya, untuk keluarganya. Dia tipe yang akan terus menerus mengumpulkan uang dengan tujuan untuk disimpan, lebih dari sekadar mencukupi kebutuhannya sekarang maupun di masa depan.

Sedikit demi sedikit dari hari ke hari tumpukan uangnya bertambah banyak, proses ini inilah yang amat disukainya. Dia membuat uangnya bekerja lebih keras agar bisa menghasilkan lebih banyak uang untuknya.

Developer = Pengembang

Developer tidak dikendalikan oleh uang, dia mengendalikan uang. Maka itu, dia tidak menginginkan uang kecuali jika membutuhkan sebesar yang akan digunakan untuk menjalankan rencananya.

Prinsipnya, setiap rupiah dalam sebuah portfolio berada disana untuk suatu tujuan tertentu, jika tidak, uang itu harusnya berada di tempat lain untuk tujuan lain. Developer percaya bahwa uang adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan.

Jadi, dia tidak membuat rencana mengumpulkan uang, tetapi dia memiliki tujuan yang membutuhkan uang untuk mewujudkannya. Sesuai dengan namanya-developer mengembangkan/membangun sesuatu dalam ukuran masif yang hanya bisa dikerjakan dengan keterlibatan banyak orang.

Dengan tujuan besar inilah yang menyebabkan daya jangkaunya terhadap uang menjadi luas. Developer memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha yang memberi manfaat pada masyarakat.

Dia percaya bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan kemakmuran pribadi. Artinya bangunan finansial yang akan didirikannya tidak bisa diperuntukkan untuk dirinya dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat luas.

Developer menjalankan rencananya langkah demi langkah secara bertahap mencapai tujuannya, proses inilah yang amat disukainya. Jika satu tujuan telah tercapai, maka dengan segera dia akan menentukan tujuan baru yang lebih baik lebih besar. Dia membuat uang bekerja lebih keras untuk mewujudkan tujuannya

The power of no!

oleh : Anthony Dio Martin
Director HR Excellency


Pembaca, saya ingin share kepada Anda soal kekuatan dari mengatakan TIDAK dalam hidup kita. Bukankah kita lebih banyak diajar untuk mengatakan YA kepada orang lain serta tidak menolak orang lain, sejak kita masih kecil.

Jadi, adakah sisi positif dari mengatakan TIDAK dalam hidup kita. Tentu! Dan saya berikan contoh kasusnya. Saya teringat saat saya memutuskan untuk mengambil ilmu psikologi sebagai dasar basis ilmu saya, saat kuliah. Sanak saudara saya mengatakan "Jangan deh. Apa sih yang bisa diharapkan dari ilmu psikologi". Saya mengatakan TIDAK kepada mereka. Dan saya sangat gembira karena bisa teguh pada keputusan saya.

Ternyata ilmu psikologi menjadi fundamental yang bagus bagi saya dalam menulis, memberikan training serta menjadi seorang pembicara. Begitu juga, saat memulai karir sebagai trainer. Saya keluar dari perusahaan dan meninggalkan karir yang begitu menjanjikan.

Ketika menjadi freelance trainer, berbagai perusahaan dan eksekutif search mencari saya dengan berbagai paket yang menggiurkan. Tapi, saya senang bisa berkata TIDAK pada tawaran mereka sehingga saya bisa berfokus untuk mewujudkan impian saya, dalam usia yang relatif muda.

Pembaca, memang betul sejak kecil kita dibiasakan untuk mengatakan YA, tidak boleh mengecewakan orang lain, membuat orang lain senang dengan setuju ataupun memberikan peng-YA-an kepada mereka. Tetapi, ujung-ujungnya banyak cita-cita dan mimpi yang akhirnya terkorbankan karena kita tidak mampu berkata TIDAK. Percayalah, untuk bisa sukses kadang kita harus bisa belajar mengatakan TIDAK pada tempatnya.

Sikap negatif

Pertama, mengatakan TIDAK kepada orang yang bersikap negatif terhadap ide dan mimpi Anda. Saya seringkali mengingatkan bahwa 'opini adalah komoditas yang paling murah'. Saat Anda memberikan ide Anda, biasanya Anda harus siap menerima berbagai komentar, termasuk segala komentar yang negatif.

Saat itu, lihatlah baik-baik dan lihat kredibilitas orang yang mengatakan. Jika perlu, jangan membiarkan mereka mencuri mimpi Anda hanya karena sebuah kata TIDAK yang mereka ucapkan.

Para penulis buku Chicken Soup for the Soul berisi kumpulan artikel inspirasi terkenal sempat dibilang TIDAK oleh penerbit. Tetapi, karena mereka tidak mau terpengaruh akhirnya buku tersebut hingga sekarang menjadi buku yang begitu banyak menyentuh orang. Jadi, jika ada orang yang bermaksud negatif dan mengatakan tidak kepada mimpi yang Anda yakini, katakan saja, TERIMA KASIH dan teruslah berjuang untuk mimpimu.

Kedua, mengatakan TIDAK kepada aktivitas yang mengacaukan Anda dari kegiatan yang produktif dan bermanfaat. Adalah sangat umum, godaan untuk istirahat dan bersenang-senang memboroskan waktu dengan tidak produktif. Terkadang ada pula godaan untuk chit-chat, godaan untuk ngobrol yang tidak produktif ataupun acara-acara popular yang berlebih-an, yang akhirnya banyak menghabiskan waktu Anda yang bermanfaat.

Terkadang, agar hidup Anda menjadi lebih berbuah, maka Anda harus berani mengatakan TIDAK kepada mereka yang ingin mencuri waktu Anda. Ingatlah selalu, 'kalau Anda tidak mulai belajar mengendalikan waktu Anda maka orang lainlah yang mulai akan mengendalikan waktu Anda'. Take control of your own time.

Ketiga, mengatakan TIDAK kepada tawaran-tawaran yang tampaknya menggiurkan tetapi mengacaukan Anda dari cita-cita Anda. Memang, musuh dari sesuatu yang baik adalah sesuatu yang lebih baik.

Kadang-kadang, ada hal-hal yang kelihatannya berguna dan bermanfaat, tetapi kalau ki-ta perhatikan baik-baik, maka hal tersebut sebenarnya tidaklah membawa kita lebih dekat dengan cita-cita kita.

Saya salut dengan seorang rekan saya yang membaktikan hidupnya untuk melayani kehidupan rohani para mahasiswa. Saya tahu bahwa ia pun mungkin membutuhkan dana untuk kehidupan keluarganya.

Tetapi saat ada undangan untuk berbicara di kota lain. Ternyata ia menolak dengan mengatakan dengan sopan, "Iya saya memang membutuhkan dana tetapi saya sudah memutuskan menghabiskan minggu ini untuk memberikan konseling pada para mahasiswa dampingan saya. Terpaksa saya katakan TIDAK karena saya sudah punya komitmen waktu dalam minggu ini".

Keempat, mengatakan TIDAK kepada berbagai godaan yang justru menjatuhkan Anda dari sisi martabat dan moral Anda. Dikatakan bahwa seringkali HARTA, TAHTA dan WANITA banyak menjadi godaan yang menjatuhkan. Kisah yang terjadi sejak penciptaan manusia pertama.

Tetapi sering godaan ini akan bagus jika sejak awal kita tidak menerimanya. Misalkan pernah tawaran mendapatkan proyek tertentu tetapi harus dengan menyediakan wanita ataupun sejumlah uang suap.

Celakanya sekali kita terbiasa dengan proses kerja seperti ini, maka kitapun akan jadi keterusan menjalankan bisnis dengan cara seperti itu. Dalam situasi seperti ini, maka akan menjadi sulit bagi kita untuk mengajarkan nilai-nilai yang positif dan baik kepada bawahan maupun anak-anak kita, kalau kita sendiri tidak punya integritas.

aya masih ingat, betapa kagetnya saya saat seorang aktivis yang dulunya dikenal jujur akhirnya terbukti korupsi dan masuk penjara. Ternyata segala sesuatu dimulai dari 'menerima' dan terlalu toleran dengan hal yang kecil. Ketidakmampuan mengatakan TIDAK akhirnya menjeratnya ke penjara.

Kelima, mengatakan TIDAK kepada orang yang mengatakan TIDAK kepada Anda. Dalam hidup kadang-kadang kita harus persisten. Inilah maksud dari keberanian mengatakan TIDAK ini.

Saya teringat dengan cerita lucu tentang seorang direktur yang mengatakan bahwa dia telah menolak lima kali seorang sales yang melamar lewat sekretarisnya untuk jadi sales di tempatnya.

Si sales ini dengan tersenyum hanya berkata, "Saya orang yang lima kali ditolak itu!". Tetapi, akhirnya justru dialah yang diterima jadi sales. Pembaca, kadang kita pun harus berani bilang TIDAK kepada orang yang berkata TIDAK kepada kita.

Menempa jiwa wirausaha

oleh : A. B. Susanto
Managing Partner The Jakarta Consulting Group


Indonesia kering wirausahawan (entrepreneur). Padahal para wirausahawan inilah yang menjadi fasilitator bagi kemajuan ekonomi sebuah negara. Menurut Pak Ci (Ciputra, chairman kelompok usaha Ciputra), Indonesia membutuhkan setidaknya 2% penduduknya menjadi wirausaha untuk menopang kemajuan ekonomi. Padahal saat ini hanya terdapat sekitar 0,8% penduduk Indonesia yang menjadi wirausahawan.

Entrepreneurship pada galibnya adalah upaya menciptakan nilai tambah, dengan menangkap peluang bisnis dan mengelola sumber daya untuk mewujudkannya. Tentu harus disertai pengambilan risiko dalam porsi yang tepat.

Lantas jika ingin mencetak wirausahawan yang tangguh dalam jumlah jutaan 1% saja dari penduduk Indonesia sudah di atas 2 juta orang faktor-faktor apa sajakah yang perlu dipertimbangkan? Sifat-sifat kewirausahaan seseorang dibentuk oleh atribut-atribut personal dan lingkungan.

Faktor lingkungan mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan jiwa kewirausahaan. Salah satu faktor lingkungan yang berperan besar dalam membentuk jiwa kewirausahaan adalah budaya.

Kita bisa melihat secara kasat mata, suku tertentu di Indonesia, seperti dari Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan mempunyai 'bakat' wirausaha. Karena dalam budaya tersimpan nilai-nilai yang diwariskan, dan nilai adalah 'apa yang dianggap baik'.

Tatkala kewirausahaan dianggap mulia dalam sistem nilai sebuah budaya, seorang wirausahawan mendapat tempat terhormat dalam budaya tersebut. Budaya tersebut akan menjadi 'produsen' wiraswasta. Sementara dalam budaya lain yang menempatkan pekerjaan wirausaha kurang bergengsi, kurang produktif dalam menghasilkan wirausaha.

Para perantau, biasanya juga memiliki dorongan lebih untuk berwirausaha. Orang Minang, Tionghoa dan India perantauan tampak lebih menonjol daripada mereka yang di daerah asalnya.

Role model merupakan hal yang sangat penting karena dengan mengetahui serta memahami kisah-kisah para wirausahawan yang telah meraih kesuksesan menjadikan cita-cita seseorang untuk membuka usahanya sendiri menjadi lebih kredibel dan terjustifikasi.

Calon wirausaha pada umumnya menemukan role model di rumah ataupun di tempat kerja. Bila seseorang banyak berhubungan serta bergaul dengan para wirausahawan, maka ada kemungkinan dia juga akan tertarik untuk memilih jalan hidup sebagai seorang wirausahawan.

Di samping faktor di atas, terdapat faktor sosiologis yang mendorong berkembangnya jiwa kewirausahaan. Salah satunya adalah tanggungjawab keluarga, yang memainkan peranan penting dalam menghasilkan keputusan untuk memulai usaha sendiri.

Adalah relatif lebih mudah untuk mulai menjalankan bisnis pada saat seseorang berusia relatif masih muda, lajang, serta tidak memiliki banyak aset pribadi. Bila dia gagal meraih kesuksesan sebagai seorang wirausahawan, maka masih terbuka peluang baginya untuk membangun karir dan pekerjaannya di perusahaan lain. Artinya lajang dan berusia muda memiliki hambatan psikologis yang rendah untuk berwirausaha. Lebih nekad!

Ada pula trade off antara pengalaman yang bertambah seiring dengan pertambahan usia dengan rasa optimistis dan energi yang dimiliki. Semakin bertambah usianya tentu semakin banyak pengalaman yang diperoleh, semakin luas jejaringnya dan seharusnya semakin percaya diri.

Namun kadang-kadang jika telah berada dalam sebuah industri dalam waktu yang lama, seseorang akan meyakini kesulitan yang bakal muncul bila memutuskan untuk memulai bisnis sendiri. Maka, rasa pesimis pun muncul dan tidak lagi nekad.

Namun dapat terjadi sebaliknya, pengalaman dan jejaring yang luas akan membuat rasa percaya diri merasa lebih merasa optimis untuk memilih wirausaha. Di sini karakter personal yang berbicara.

Karakteristik personal

Karakteristik personal dapat mengalahkan faktor lingkungan. Ambil contoh Bill Gates. Lingkungan keluarga pengacara telah membimbingnya untuk menekuni bidang hukum di Universitas bergengsi, Harvard. Dia sedang merintis jalan untuk mengikuti tradisi keluarganya, menjadi pengacara, pada saat dia dropped out dari Harvard dan mendirikan Microsoft. Dalam kasus Bill Gates, sisi karakteristik personal lebih menonjol.

Dari sisi ini, seorang wirausahawan memiliki focus of control internal yang lebih tinggi ketimbang seorang nonwirausahawan, yang berarti mereka memiliki keinginan kuat untuk menentukan nasib sendiri.

Sebuah survei yang dilakukan terhadap pemilik usaha kecil di Inggris menemukan bahwa lebih dari 50% responden mengatakan bahwa independensi merupakan motif utama saat mereka memutuskan mendirikan usaha sendiri.

Hanya 18% yang mengemukakan alasan untuk menghasilkan uang, sedangkan sisanya sebesar 10% menyebutkan ber-bagai alasan seperti kesenangan, tantangan, memberikan ruang lebih bagi kreativitas, dan kepuasan personal.

Karakteristik personal lainnya adalah kebutuhan untuk mengendalikan. Kebanyakan para wirausahawan adalah orang yang sulit untuk menerima kendali serta otoritas orang lain terhadap diri mereka.

Menurut Derek Du Toit, banyak wirausahawan yang membangun bisnisnya sendiri sebelumnya merupakan karyawan dari sebuah organisasi, namun mereka memiliki sifat sulit diatur.

Keputusan berwirausaha dapat dipengaruhi oleh faktor personal maupun faktor lingkungan. Wirausahawan seringkali memutuskan untuk memulai usahanya sendiri karena mereka adalah para high achiever yang merasa bahwa karir mereka sulit berkembang dalam perusahaan tempat mereka bekerja ataupun profesi yang mereka tekuni.

Banyak wirausahawan yang bekerja selama beberapa waktu dalam sebuah perusahaan guna memperkuat jejaring, meningkatkan sumber daya dan pengalaman sebelum membuka bisnis mereka sendiri.

Customer value

oleh : Handito Hadi Joewono
President Arrbey Indonesia
Cetak Kirim ke Teman Komentar


Taksi Blue Bird ada di mana-mana. Di tempat mangkal taksi di banyak hotel dan pusat perbelanjaan, di jalan besar, jalan kecil, sampai di ujung gang rumah kita. Memanggil taksi Blue Bird 'hanya' sejauh mengangkat gagang telepon. Mirip slogan salah satu produk minuman: "kapan saja, di mana saja". Kemudahan seperti itu memberi bukti, yang bukan sekadar janji, dari empat komitmen nilai tambah taksi Blue Bird.

Blue Bird memberikan komitmen empat nilai tambah [customer value] untuk membedakan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan taksi lain. Keempat komitmen nilai tambah itu adalah aman, nyaman, mudah, dan pelayanan personal. Tentu saja untuk merealisir komitmen yang tampaknya sederhana tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan.

Faktor pengelolaan SDM khususnya pengemudi taksi yang belasan ribu, mobil yang kondisinya berbeda-beda, lokasi yang relatif berjauhan dan taksi yang terus bergerak merupakan faktor yang menambah rumitnya pengelolaan bisnis dan layanan pada bisnis taksi.

Bahkan, untuk sekadar memetakan industri ini pun juga tidak mudah. Tim Arrbey yang sedang menyiapkan studi kasus taksi untuk buku kami berikutnya tentang layanan berkualitas juga menghadapi realita 'ruwetnya' pengelolaan bisnis ini.

Dari sisi pemasaran dan pelayanan konsumen, pengelolaan bisnis taksi dihadapkan pada beragamnya jenis konsumen. Ada konsumen yang ingin naik taksi dengan nyaman, ada yang asal sampai, ada yang cari gengsi dengan naik taksi, dan ada juga yang memanfaatkan naik taksi untuk kepentingan tidak baik termasuk mencari mangsa perampokan, penculikan, dan pemerkosaan.

Setidaknya adan tiga segmen pasar konsumen taksi atau kendaraan angkutan darat pada umumnya, yaitu:

1. Asal sampai

Jangan terlalu mikirin kualitas layanan di kelompok konsumen yang satu ini. Kualitas layanan merupakan kemewahan, yang kalau konsumen tidak mendapatkan juga tidak apa-apa. Bahkan, kalau sampai disediakan oleh pemberi layanan merupakan hal yang luar biasa.

Kata kunci 'layanan' di sini adalah: ngirit. Tidak heran banyak penumpang kereta api di Bogor dan Bekasi yang gembira dengan kehadiran KRL ekonomi AC. Ada juga konsumen taksi yang tidak berkeberatan naik taksi yang tidak pakai AC atau taksinya 'dekil'' karena taksinya tidak terawat dan bahkan tidak merasa was-was kalau pengemudi taksinya 'sangar'.

Pengemudi taksi yang cocok melayani kelompok konsumen ini adalah 'pembalap gagal' yang berani ngebut dan sedikit-sedikit melanggar peraturan lalu lintas agar penumpang cepat sampai daerah tujuan.

2. Sampai dengan puas

Penumpang yang naik taksi Blue Bird punya ekspektasi mendapatkan layanan standar berkualitas. Keempat customer value Blue Bird yaitu aman, nyaman, mudah, dan pelayanan personal dengan tepat memenuhi ekspektasi servis konsumen tadi.

Kalau konsumen mendapatkan keempat janji Blue Bird tersebut, tentu konsumen puas. Sebaliknya konsumen yang masih merasa ada janji yang belum sepenuhnya terpenuhi bisa berkomunikasi lebih lanjut dengan menelepon pusat layanan konsumen.

3. Sampai dengan kesan indah

Sesungguhnya Blue Bird, khususnya melalui Silver Bird, sudah mengarah ke pemberian layanan yang memungkinkan konsumen mendapat kesan indah. Penggunaan portofolio Mercedes dan mobil mewah lainnya dalam jajaran armada Silver Bird merupakan simbol upaya servis yang bermaksud memberi kesan indah. Penumpang bisa 'berbangga' menyampaikan ke sanak saudara atau rekan bisnisnya kalau barusan naik Mercy.

Demikian juga komitmen mengembalikan barang tertinggal, sehingga sampai mendapat rekor Muri juga bentuk lain dari upaya 'merekayasa positif'untuk menciptakan layanan yang bisa berkesan indah. Konsumen yang amit-amit ketinggalan handphone dan lalu mendapatkan lagi handphone-nya akan menjadi konsumen yang mau cerita ke teman dan siapa pun yang ditemui tentang kualitas layanan taksi yang baru saja digunakannya.

Keberhasilan Blue Bird mengelola berbagai keruwetan yang menjadi karakteristik bisnis taksi memang bisa diacungi jempol. Strategi membangun banyak pangkalan taksi di berbagai tempat berbeda, jumlah taksi yang banyak, pemanfaatan teknologi informasi dan manajemen pengelolaan SDM khususnya pengemudi taksi menjadi pilar-pilar kesuksesan Blue Bird.

Lalu bisakah contoh kasus baik seperti ini 'ditiru' oleh perusahaan taksi atau bahkan industri jasa yang lainnya. Tentu saja bisa, dan modal dasarnya adalah tekad dan tindakan nyata. Manajemen Blue Bird sudah membuktikan aplikasi tekad dan tindakan nyata tadi dalam pengelolaan bisnisnya, dan selanjutnya terserah Anda.