Jumat, 06 Juni 2008

Back to Habibie

Hamid Basyaib

WAKIL Wakil Presiden BJ Habibie baru saja meminum air putih untuk buka puasa Kamis ketika ajudan memberi tahu ada tamu. Saya hampir tak percaya melihat tamu berbatik yang menyeruak riang itu: Jack Welch!

Inilah Presiden General Electric yang legendaris itu. Wibawanya melampaui banyak presiden sungguhan. Hidupnya berkeliling ke puluhan negara dengan jet pribadi untuk menemui ratusan ribu karyawan.

Sambil memeluk tamunya yang jangkung, Habibie bilang mereka berdua senasib. "Dada kami sama-sama pernah dibelah," katanya, untuk menyebut operasi jantung koroner.

Lalu, tanpa basa-basi, dan tanpa mengukur-ukur 'harkat manusia', Habibie mengajak kami bertiga (Adi Sasono, M Syafi’i Anwar, dan saya) berfoto bersama sang tamu.

Begitulah Habibie. Spontan. Riang. Bersahabat. Lugas, kadang terkesan naif. Dia tak pernah berubah; semangat berkobar memajukan bangsa.

Berbeda dari kebanyakan pemimpin yang puas dengan retorika muluk, Habibie tahu dan mampu menunjukkan cara meraih kemajuan: melalui penguasaan ilmu dan teknologi. Tiada orang lain di negeri ini yang sesemangat dia dalam meyakini hal ini, dan dalam mengupayakan kemakmuran Indonesia.

Semangat dan kesungguhan itu pula yang terlihat ketika ia bicara dua jam di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah, Kamis (29/5). Setelah meringkaskan 100 tahun perjalanan bangsa, Habibie menguraikan sejumlah agenda politik dan ekonomi dalam konteks reformasi yang ia mulai 10 tahun lalu.

Ia mengungkapkan sejumlah masalah, yaitu tingginya pengangguran dan kemiskinan, merosotnya patriotisme, pengutamaan kepentingan pribadi, kelompok dan berjangka pendek.

Tapi Habibie tak cuma meratap, apalagi mencerca. Ia mengajukan tawaran solusi konkret, yang ia sebut back to basic.

Posyandu yang terbengkalai bukan hanya perlu dihidupkan lagi, tapi sekaligus jadi pusat layanan informasi (termasuk jaringan internet) untuk teknologi pembinaan keluarga sejahtera, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja.

'Desa Surya' perlu dikembangkan, bersama pemanfaatan energi panas bumi. Sistem irigasi pertanian perlu direhabilitasi dan dikembangkan. Semua itu, bersama program KB, termasuk yang terabaikan selama 10 tahun reformasi.

Harus segera dibangun kereta api cepat Jakarta-Semarang-Surabaya dengan memanfaatkan energi terbarukan geotermal, selain rehabilitasi dan elektrifikasi jaringan KA se-Jawa.

Rencana pembangunan Batam, Rempang, Galang dan Bintan perlu disempurnakan, beserta pelanjutan pengembangan Pulau Natuna. Arus laut di NTB dan NTT perlu segera dikembangkan menjadi energi terbarukan. Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu harus dilanjutkan dan disempurnakan.

Di tengah ekonomi global yang unpredictable, Habibie ingin ekonomi nasional lebih prediktabel. Ia memberi contoh harga BBM, yang dipengaruhi harga internasional. Pemecahannya tidak bisa berorientasi pada upaya nasional, misalnya dikaitkan APBN.

Di masa depan harga BBM harus diserahkan pada mekanisme pasar. Tapi harus dengan persiapan matang. Misalnya: gratiskan pendidikan, murahkan biaya kesehatan, dan naikkan gaji.

Sejumlah tawaran solusi Habibie terbuka untuk didebat. Tapi setidaknya ia punya ide yang jelas dan operasional. Dan ia membuktikan berani mengambil keputusan melaksanakannya, bahkan di tengah badai kritik.

Tugas pemimpin memang mengarahkan pengikut, bukan terombang-ambing di tengah kepentingan pengikut dan lingkaran kawan. Juga kerisauan bakal tak populer. Ia bukan cuma berkata bahwa negeri ini harus “damai, sejahtera, adil dan makmur”.

Ide-ide Habibie melampaui klise yang tak pernah ditunjukkan para pemimpin lain. Ia punya cita-cita terang dan tahap-tahap langkah yang jelas ke mana perahu Indonesia harus didayung di antara banyak karang.

Pemerintah mestinya memberi porsi peran yang tepat bagi elder statesman seperti BJ Habibie yang spiritnya tak pernah pudar.

Ketika masih bekerja di perusahaan pesawat terbang Jerman, ia lebih banyak berperan sebagai penyusun dan pelaksana strategi pemasaran. Kini pun ia pasti sanggup menjalankan peran itu. Jaringan ekonomi internasionalnya luas; ia menjalin pertemanan dengan orang AS seperti Jack Welch. Lobinya di Uni Eropa lebih kuat lagi.

Dalam usia 72, dengan puncak-puncak prestasi yang pernah ia capai, dengan kekayaan dari berbagai bisnis, royalti, dan saham-saham internasional, Habibie sudah menuntaskan urusan ambisi pribadi.

Jika pemerintah meminta Habibie kembali bekerja, siapa tahu ia bersedia. Dan siapapun tak perlu menganggapnya saingan. Era Habibie sudah berlalu. Peluang politiknya tertutup ketat. Yang masih tersisa di sakunya hanyalah kecerdasan, energi kemajuan, ide-ide besar dan praktis untuk Indonesia modern.

Pihak peminta hanya perlu bersaing dengan Ibu Ainun, seorang isteri berwajah ayu, yang tak ingin tampil melampaui porsinya; seorang isteri yang tak pernah mendistorsi tugas-tugas kenegaraan suami.

Penulis adalah Direktur Eksekutif SPIN (Strategic Political Intelligence). [L1]

Tidak ada komentar: