Minggu, 24 Juni 2007



Investasi untuk membangun merek

oleh : Handi Irawan D.
Chairman Frontier Consulting Group

Upaya perusahaan dalam membangun sebuah merek, harus dilihat sebagai investasi. Bila pimpinan puncak atau pemasar hanya selalu melihatnya sebagai pengeluaran, pastilah tidak akan tercipta sebuah merek yang kuat. Perusahaan yang memiliki pandangan seperti ini akan cenderung untuk perang harga atau fokus kepada upaya-upaya penjualan.

Biasanya, kesadaran akan pentingnya merek muncul setelah mereka mengetahui berapa nilai yang terkandung dalam sebuah merek yang kuat. Merek global seperti Coca Cola, memiliki harga sekitar US$70 miliar.

Merek Microsoft misalnya, menurut perkiraan Interbrand pada 2006, sudah bernilai US$56 miliar, atau sekitar 1,6 kali dari nilai net tangible assets Microsoft pada periode yang sama.

Nilai merek ini, biasanya kemudian menjadi kenyataan ketika suatu perusahaan melakukan akuisisi atau diambil alih oleh perusahaan lain. PT HM Sampoerna, dibeli Philip Moris sekitar Rp39 triliun di atas nilai bukunya.

Kalau merek ini merupakan 75% dari total nilai intangible-nya, berarti, harga merek dari Djie Sam Soe, A Mild, dan Sampoerna Hijau, sudah sekitar Rp30 triliun.

Tentu saja, untuk mencapai nilai merek yang sedemikian besar bukanlah perkara mudah. Butuh investasi yang tidak kecil. Contohnya, untuk peluncuran Windows Vista, manajemen diperkirakan mengeluarkan dana pemasaran global sebesar US$ 500juta, tertinggi yang pernah dikeluarkan oleh Microsoft untuk mendukung pemasaran Windows.

HM Sampoerna sendiri, diperkirakan mengeluarkan uang lebih dari Rp 2 triliun untuk A Mild saja, selama merek ini diluncurkan hingga 2006.

Jadi, keuntungan merek yang kuat, selalu dalam dua bentuk. Pertama, keuntungan jangka pendek yang tercermin dari nilai penjualan dan tingkat profitabilitas yang dicetak merek itu.

Bila besarnya laba masih lebih kecil dibandingkan dengan dengan pengeluaran biaya promosi dan biaya membangun merek lainnya, maka perusahaan tetap saja mendapatkan tingkat investasi yang baik bila nilai akhir dari merek tersebut, sudah lebih tinggi dari semua investasi yang sudah digelontorkan.

Investasi merek tidak terbatas pada kegiatan pemasaran. Kegiatan seperti riset pasar guna mendapatkan insight mengenai kebutuhan dan keinginan konsumen, yang dilanjutkan dengan proses pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan tersebut, hingga kepada after-sales service adalah hal-hal yang terkait dengan investasi merek.

Di Indonesia, Wings Group untuk mendukung peluncuran Mie Sedaap menggelontorkan ratusan miliar dalam 2 tahun pertamanya.

Sebagai merek baru, perolehan penjualannya sangat mungkin lebih kecil dari biaya promosinya. Ini hal biasa untuk merek yang relatif baru di mana biaya investasi yang dibutuhkan umumnya jauh lebih besar dibandingkan merek yang sudah exist guna mencapai posisi top.

Ini pasti berbanding lurus dengan situasi persaingan yang berlangsung. Semakin tinggi tingkat kompetisi di suatu industri, maka akan semakin besar pula biaya investasi yang diperlukan untuk membangun merek yang top.

Berorientasi laba

Tetapi, sebagai sebuah entitas organisasi yang berorientasi pada laba, melakukan investasi saja tanpa memperhatikan return yang didapatkan dari investasi tersebut tidaklah tepat. Manajemen butuh indikator kontrol yang dapat memberikan informasi seberapa baik nilai yang diinvestasikannya memberikan return.

Untuk menghitungnya, dapat menggunakan ukuran Return on Brand Investment (RBI), yaitu rasio antara return yang diperoleh dengan seluruh investasi yang dikeluarkan untuk membangun merek. Untuk menghitung return-nya, bisa kita lihat selisih brand equity antara satu periode dengan periode tertentu.

Bila tingkat kenaikan brand equity ini lebih besar dari seluruh investasi dalam periode tersebut, maka RBI adalah positif. Semakin tinggi tingkat peningkatan brand equity-nya, semakin besar pula tingkat RBI nya.

Pada akhirnya, pengukuran RBI yang berkesinambungan dapat memberikan gambaran pada manajemen mengenai tingkat keberhasilan mereka dalam membangun merek. Juga dapat memberikan gambaran strategi yang perlu diambil oleh manajemen untuk mempertahankan/meningkatkan kekuatan mereknya.

Kemampuan pemerintah yang bertindak sebagai regulator untuk memberi kepastian terhadap perlindungan merek, sangatlah penting. Ini akan menjadi pegangan bagi pengusaha lokal untuk mau membangun mereknya.

Banyaknya kasus perselisihan merek di Indonesia, sudah pasti menjadi faktor penghambat. Siapa yang mau membangun merek dengan dana ratusan miliar dan kemudian mereknya tidak mendapat perlindungan yang pasti? Tanpa proteksi seperti ini, nilai merek akhirnya menjadi nol. Akhirnya, pengusaha lokal lebih senang untuk fokus menciptakan penjulanan jangka pendek yang pada akhirnya tidak akan membangun daya saing.

Tidak ada komentar: