Selasa, 18 Desember 2007

Andrias Harefa

05 Juni 2006 - 08:46 (Diposting oleh: editor)
Mendefinisikan Realitas ( 3 )

Halaman sebelumnya

Banyak mendengarkan, berempati, awareness, dan melihat dengan mata batin, itulah yang saya kira menolong para pemimpin untuk mampu mendefinisikan realitas, menunaikan tanggung jawabnya yang pertama.

Bila hipotesis di atas dapat diterima, maka kita mungkin dapat kembali menyadari betapa langkanya manusia yang disebut pemimpin itu di negeri kita. Kita memiliki begitu banyak pejabat, yakni pemangku jabatan kepemimpinan, tetapi sulit menemukan orang-orang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan. Kalau ada pertemuan yang dihadiri para pejabat, maka mereka biasanya justru diberi banyak kesempatan untuk (dan maunya memang) berbicara, memberikan “pengarahan”, “petunjuk”, dan sebangsanya. Pada hal kebutuhan kita yang utama adalah “didengarkan”, “dimengerti”, dan “dipahami”, bukan “dikuliahi”.

Kita memiliki begitu banyak “atasan” atau “boss”, tetapi begitu sulit mencari mereka yang mampu berempati. Kebanyakan “atasan” dan “boss” kita memang ”tahu” apa yang kita rasakan, tetapi tidak ”merasakan” apa yang kita rasakan. Mereka “tahu” betapa menderitanya pegawai-pegawai kecil, pengajar-pengajar sekolahan, pengusaha skala micro-kecil, bila harga-harga membumbung, tarif listrik-BBM-telepon naik sambung menyambung, tetapi mereka “tidak sampai merasakan” semua itu.

“Atasan” dan “boss” kita juga sering menunjukkan tanda-tanda “lupa diri”. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan penghasilan utama, kaum ”atasan” dan “boss” itu masih saja melancong ke manca negara, pamer kemampuan membeli mobil mewah, dan berbagai perilaku kasat mata yang tidak menunjukkan adanya kesadaran diri bahwa mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang sedang sangat menderita, dan semakin menderita menyaksikan sikap dan perilaku mereka yang tidak menunjukkan entah itu sense of crisis, sense of urgency, atau sense-sense lainnya. Sepertinya mereka justru kehilangan commonsense (akal sehat)-nya.

Ujung-ujungnya, kita kesulitan menemukan “atasan” dan “boss” yang visioner, yang mampu memperlihatkan kepada kita direction yang lebih baik. Kita tidak tahu apa yang mereka “lihat” dengan mata batinnya, sehingga kita ragu apakah mereka memiliki jiwa reformis atau cuma penjaga status quo yang berbulu reformis (musang berbulu domba).

Konsekuensi dari semua itu adalah kita kehilangan kemampuan untuk memahami zaman apa yang sedang kita masuki dewasa ini. Kita telah kehilangan orang-orang yang mampu mendefinisikan realitas, bahkan lebih parah lagi, kita kehilangan orang-orang yang mau menerima tanggung jawab untuk mendefinisikan realitas itu. Yang banyak kita jumpai adalah mereka yang masih “rajin” melempar tanggung jawab, mencari-cari kambing hitam ketika setiap permasalahan muncul ke permukaan.

Mudah-mudahan seluruh hipotesis saya keliru.

* Andrias Harefa adalah seorang pembelajar Sekolah Kehidupan, inisiator website Pembelajar.com, dan telah menghasilkan 25 buku laris. Ia juga dikenal dengan julukan WTS (writer, trainer, speaker). Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

Tidak ada komentar: