Selasa, 26 Juni 2007

Komersialisasi Pendidikan
Oleh SOEROSO DASAR

KOMERSIALISASI pendidikan sudah bukan bahaya melainkan kenyataan, yang lebih mencolok dalam gejala yang disebut "pajak atas kebodohan". Cukup banyak perguruan tinggi yang uang pangkalnya berbanding lurus dengan ketidakpintaran (kebodohan) calon mahasiswanya. Makin besar angka peringkatnya, semakin bodoh dan semakin besar pula uang pangkal yang harus dikeluarkan.

Dari pada tidak diterima (karena memang tidak mampu menempuh seleksi masuk perguruan tinggi), ia dibujuk dengan uang pangkal yang tinggi, tentu saja jumlahnya jutaan rupiah. Jadi, ia didenda berat karena ada kekurangan yang melekat padanya. Yang pasti, kegugurannya masuk seleksi perguruan tinggi secara normal, di siasati dengan berbagai cara. Saat ini, populer dengan sebutan program jalur.

Banyak orang dibujuk membayar tinggi untuk menebus kegagalannya. Kalau realitasnya demikian, manusiawikah tindakan seperti itu? Begitu tulis J. Drost S.J. pada majalah Prisma dengan judul "Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan". Kegalauan Drost yang muncul tahun 90 itu, seperti luka yang tidak sembuh-sembuh. Rekomendasinya adalah perguruan tinggi baru bisa berperan apabila unsur paling dasar kehidupan akademik, harus membawa serta nilai. Karena, nilai berarti ada harganya. Sesuatu yang dihargai, sering membuat pengorbanan. Kehidupan manusia tanpa nilai, bukan kehidupan insani. Karena, nilai menentukan mutu dan martabat hidup.

Diskusi "Kualitas Pendidikan Indonesia, Dilihat dari Perspektif Hukum dan Sosial Kemasyarakatan" ("PR", 12 Mei 2007), kembali menguak masalah komersialisasi pendidikan. Diskusi yang dilakukan di salah satu ruangan di Unpad itu, salah seorang pembicara mempertanyakan bagaimana kaum duafa mampu memperoleh pendidikan tinggi, apabila biaya pendidikan semakin mahal. Dengan berbagai jalur, perguruan tinggi mampu menyerap dana segar dari masyarakat.

Pledoi (pembelaan) yang dikedepankan oleh perguruan tinggi, tentu saja sudah dapat ditebak yakni subsidi silang. Dana segar dengan jalur tertentu yang disedot oleh perguruan tinggi diinvestasikan kembali, dengan harapan mahasiswa dari keluarga duafa yang masuk pada jalur yang lain dapat menikmati fasilitas tersebut. Kondisi ini, dipicu oleh dana untuk dunia pendidikan yang dikucurkan pemerintah sangat terbatas. Pemerintah belum mampu melaksanakan amanat yang tertuang pada UUD 45 pasal 7 ayat 4. Tetapi, di antara ketidakmampuan pemerintah itu, decak kagum kita sampaikan kepada Pemkot Tangerang yang telah mengucurkan dana pendidikan sebesar 42% dari APBD pada tahun 2005 dan 31% pada tahun 2006.

Dari persentase itu pun di luar gaji guru. Sungguh suatu kebijakan yang luar biasa. Mungkin kegalauan para pengamat pendidikan dan sosial adalah, benarkah subsidi silang dari dana segar itu dilaksanakan secara benar. Jangan-jangan sebagian dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak mempunyai signifikan terhadap kualitas pendidikan. Kekhawatiran itu wajar-wajar saja karena dana yang diserap relatif sangat berarti. Di salah satu universitas negeri saja, untuk Fakultas Kedokteran biaya pengembangan pendidikan mencapai Rp 175 juta, Fakultas Ekonomi Rp 40 juta, FKG Rp 40 juta, Farmasi Rp 35 juta, belum lagi fakultas lainnya. Kalau dijumlahkan semuanya akan muncul juga angka yang fantastis. Tetapi, penulis tetap berprasangka baik (khusnuzon) kepada para pengelolanya. Seperti wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya: bergaullah dengan orang-orang berilmu, karena Allah menghidupkan hati mereka melalui cahaya hikmah.

Pendidikan yang selama ini cenderung hanya bertakhta pada otak manusia dan kurang mengiraukan aspek keadilan serta nilai-nilai Ilahi, telah membuat sepertiga planet bumi menjadi orang kaya, sedangkan sisanya (dua pertiga) adalah penduduk miskin. Bahkan, Indonesia pada saat sekarang ini dengan kriteria Bank Dunia penduduk miskinnya lebih dari seratus juta orang.

Konon, semuanya ini adalah produk-produk orang yang mengenyam pendidikan tinggi, karena di pundak merekalah strategi pembangunan, kebijakan, dan keputusan diletakkan. Gaya pendidikan yang cenderung hanya mengembangkan otak kiri tanpa memperdulikan pengembangan otak kanan, juga telah menghasilkan generasi kronis dan terjadinya split personality". Tidak ada keseimbangan antara akal dan batin yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, sehingga tidak ada integrasi antara otak dan hati. Negeri ini yang lebih menekankan nilai akademik, kurang memberikan bobot kepada masalah kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip-prinsip kepercayaan, penguasaan diri, atau sinergi, telah membentuk manusia Indonesia seperti yang kita saksikan saat ini.

Satu kualitas sumber daya manusia yang patut dipertanyakan. Manusia yang buta hati, dengan krisis moral yang tajam. Pada sisi lain pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai religius tidak di pahami atau dimaknai secara mendalam, tetapi lebih pada tataran dan pendekatan simbol-simbol dan acara ritual. Fenomena ini dengan telanjang kita saksikan bagaimana pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Investasi yang besar di dunia pendidikan (human investment), yang dilakukan apabila keluar dari roh pendidikan itu sendiri alangkah celakanya. Karena, manusia yang dibangun bukan manusia yang berempati terhadap proses pembangunan yang sedang terjadi, tetapi serigala-serigala ganas dan buas yang tidak pernah puas untuk menindas manusia lainnya. Apabila niat suci subsidi silang dengan membidik dua segmen calon mahasiswa dan mampu meramu proses pendidikan yang bermoral, yang mempunyai hati nurani, yang bermutu, maka pembukaan jalur tertentu dengan menyedot dana segar dari masyarakat tidaklah terlalu keliru. Apalagi jalur tersebut dilakukan juga dengan cara proses seleksi yang jujur.

Inilah salah satu terobosan untuk terus mengupayakan agar pendidikan di negeri ini semakin bermutu dan mampu berbicara pada ranah internasional. Orang-orang berilmu itu dan manusia-manusia yang telah memutuskan pilihan hidupnya di dunia pendidikan agaknya perlu membaca apa yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim Al Jaujiyyah, dalam bukunya Taman-taman Orang Jatuh Cinta: Orang berilmu ibarat tanah yang siap diinjak oleh orang yang baik dan buruk, atau seperti hujan yang turun membasahi kepada orang yang suka dan tidak suka. Orang berilmu tidak layak disebut sebagai orang berilmu, kecuali bila ia dianugerahi kerajaan, ia tidak akan berpaling dari Allah. Orang berilmu adalah orang yang lemah lembut di hadapan Allah, tetapi tegar di hadapan selain Allah. Sedangkan Dzun an-Nun al Mishri mengatakan: Segala sesuatu mempunyai kesudahan atau akhir dan kesudahan orang berilmu tatkala ia berhenti berzikir kepada Allah.

Dalam Megatrends 2000 Jhon Naisbitt dan Patricia Abburdene mencatat bagaimana peran-peran orang berilmu, orang-orang jebolan pendidikan tinggi memberikan konstribusi terhadap proses pembangunan. Jhon Naisbitt tetap memberikan dukungan penuh terhadap dinamika pendidikan, yang memberikan keseimbangan antara kedua otak yang ada sehingga prinsip-prinsip demikian lebih egaliter dan menghargai arti kehidupan. Karena diyakini bahwa kehidupan yang dijalani dengan warna spiritualisasi, akan menuai keberhasilan dan kebahagiaan.

Oleh karena itu, kita tidak perlu terkejut ketika kita menemukan banyak orang-orang yang suci, sufi, mistikus, bukan hanya di tempat-tempat ibadah orang Islam, Nasrani, Buddha. Tetapi mereka bertebaran di berbagai fakultas yang ada di perguruan tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang mampu menggerakkan dinamika perguruan tinggi secara jujur, arif, serta terhormat dan bermutu, sehingga cita-cita kehadiran perguruan tinggi di negeri ini benar-benar bermakna bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung.

Jangan sampai perguruan tinggi menyimpang dari the idea of on university. Karena, seorang mujahid adalah yang haus dan dahaga untuk mencicipi ilmu, maka setiap insan sadar bahwa Rasulullah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. ***

Penulis, peneliti senior PPK-PPSDM Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Minggu, 24 Juni 2007

Tukul, Pinjal dan Kotak Korek Api

Oleh: Imam S


Berbahagialah Tukul Arwana. Pelawak yang dulunya pernah berprofesi sebagai sopir pribadi itu kini sudah menjadi milyuner. Hebatnya lagi, sudah tajir tenar pula. Itu semua bisa terjadi karena Tukul bukan pinjal. Lho, apa hubungannya?

Ya, sebagai seorang entertainer Tukul adalah sosok yang berhasil. Acaranya di televisi ditonton jutaan pemirsa. Kehadirannya selalu dinantikan. Orang-orang sepertinya tak bosan menatap wajahnya, yang tidak ganteng itu, di layar kaca. Namun jangan salah, apa yang dia dapat saat ini bukan sesuatu yang instan. Seperti diakuinya, ia bersusah payah melampaui proses yang tidak selalu indah sebelum sukses seperti sekarang. Buktinya, ia pernah menjadi sopir pribadi, pembawa lampu untuk shooting video, penyiar radio dan melakukan apa saja (yang halal tentunya) untuk bertahan hidup di Jakarta.

Harus diakui, Tukul punya semangat dan hasrat yang kuat untuk sukses dan ia terus bergerak untuk meraih impian suksesnya itu. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah media cetak, Tukul mengibaratkan dirinya seperti mata pisau yang jelek, tapi terus diasah hingga menjadi tajam.

"Berjuang dengan butiran kristal keringat tentu berbeda dengan mereka yang instan. Saya sudah kenyang diremehkan, dicaci dan dicibir. Saya jalan dari satu kampung ke kampung yang lain, dari satu panggung ke panggung yang lain. Dan, inilah yang sekarang saya terima," begitu kata Tukul.

Menyimak perjalanan sukses Tukul, saya jadi teringat kisah (tepatnya eksperimen) mengenai kutu anjing yang dimasukkan dalam sebuah kotak korek api yang dituturkan sahabat saya Indrawan Nugroho dari Kubik Leadership. Kutu anjing alias pinjal konon merupakan salah satu pelompat terhebat di dunia. Ditopang kaki-kaki yang kuat, dengan ukuran tubuh yang hanya 1-2 mm binatang ini mampu melompat 300 kali tinggi tubuhnya. Namun, apa yang terjadi ketika ia dimasukkan dalam sebuah kotak korek api kosong lalu dibiarkan di sana selama satu hingga dua minggu? Talentanya yang hebat itu tiba-tiba saja musnah. Si pinjal sekarang hanya mampu melompat setinggi kotak korek api saja!

Rupanya itu adalah buah dari akumulasi pengalamannya ketika dimasukkan dalam kotak korek api. Di dalam sana ia mencoba melompat tinggi, tapi karena selalu terbentur dinding kotak korek api ia kemudian mulai meragukan kemampuannya. Sampai akirnya ia menyesuaikan loncatannya dengan tinggi kotak korek api. Aman. Dia tidak terbentur. Dia pun menemukan keyakinan baru bahwa kemampuan melompatnya hanya setinggi kotak korek api.

Nah, ketika dia dikeluarkan dari kotak korek api, rupanya keyakinan barunya tersebut terpatri betul di benaknya, “Aku hanya mampu meloncat setinggi kotak korek api.” Alhasil, si pinjal pun hidup seperti itu hingga akhir hayatnya: Melompat setinggi kotak korek api! Kemampuan yang sesungguhnya tidak tampak. Kehidupannya telah dibatasi oleh lingkungannya.

Bagi kita, kotak korek api itu adalah segala sesuatu yang ada di luar kita. Sesuatu yang menghambat usaha menampilkan potensi kita yang sesungguhnya. Ia bisa berupa omongan, cibiran, cemoohan atau komentar bernada pesimis terhadap apa yang kita lakukan. Bisa juga kondisi tubuh kita yang tidak sempurna, usia yang tak lagi muda atau pendidikan yang tidak tinggi. Ia adalah apa yang kita miliki atau tidak kita miliki pada saat ini yang sering dijadikan alasan untuk mengerdilkan potensi kita lalu menganggapnya sebagai “sudah nasib saya" atau "sudah takdir saya”. Padahal, siapa tahu, kita ditakdirkan lebih baik dari keadaan sekarang dengan sedikit bekerja atau berjuang lebih keras!

Maka, beruntunglah Tukul bukan pinjal. Ia tidak mau rencana suksesnya terhambat oleh kotak korek api berupa kata-kata yang meremehkan, mencaci dan mencibirnya. Beruntung pula dia punya semangat, motivasi yang kuat dan mimpi sukses yang mampu memerdekakan dirinya dari kungkungan kotak korek api tadi. Bila saja Tukul menyerah pada nasib, sampai rambutnya ubanan pun ia akan menganggap menjadi sopir pribadi atau pemanggul lampu shooting video sebagai profesi yang pantas untuk terus disandang wong ndeso miskin seperti dirinya.

Tentunya Tukul tidak sendirian. Lihatlah bagaimana kegigihan Kuntowijoyo (alm.), seorang ilmuwan, budayawan sekaligus sastrawan. Kendati lumpuh dan hanya mampu menggerakkan dua jari tangannya untuk mengetik, setelah sebelumnya mengalami serangan stroke, beliau tetap menulis dan melahirkan karya-karya besar. Kuntowijoyo tidak menyerah pada kotak korek api kelumpuhan.

Begitu pun Kolonel Sanders yang sukses membangun jaringan bisnis fast food setelah usianya melampaui 62 tahun. Atau, Andre Wongso yang tidak menamatkan sekolah dasar namun mampu menjadi motivator nomor satu di Indonesia. Atau, Stephen Hawking, Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University –sebuah jabatan paling bergengsi yang pernah dijabat Sir Isaac Newton– yang tergolek di atas kursi roda, bahkan untuk bicara pun menggunakan pensintesa suara, namun tetap mengajar dan ceramahnya tentang teori penciptaan alam semesta dinanti-nanti orang di seluruh dunia.

Kini terserah Anda, mau jadi Tukul atau pinjal. Tapi, sebelum menentukan pilihan, ada baiknya Anda tahu persis apa saja yang menjadi kotak korek api dalam hidup Anda. Dan, yang tak kalah penting, Anda juga harus tahu apa mimpi sukses Anda.

Seni Menyeleksi Karyawan (2)

Oleh: Kumala Sari Dewi Chung


Berikut, bagian kedua dari penjelasan untuk teknik seleksi yang jitu:

Simulations

Tes seleksi untuk menampilkan tingkah laku kerja pada situasi yang sedemikian rupa diciptakan semirip situasi kerja. Ada beberapa teknik simulasi, di antaranya:

a.Case Analysis

Contoh kasus yang relevan dihadapi dalam posisi tertentu disajikan secara tertulis pada pelamar untuk dipecahkan. Pelamar dapat menentukan rekomendasi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Penilaian teknik ini bersifat normatif, yaitu jawaban seorang pelamar dibandingkan dengan pelamar yang lain.

Umumnya diterapkan pada posisi junior, middle dan senior management untuk melihat kemungkinan kinerja bila dihadapkan pada kasus yang serupa. Mengingat pelamar pada posisi ini seharusnya membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk adaptasi dan pembelajaran, mereka diharapkan langsung mampu menampilkan kinerja terbaik sejak hari pertama bergabung dengan perusahaan.

b.Group Discussion

Sekelompok pelamar diberikan kesempatan selama kurun waktu kurang lebih satu jam untuk mendiskusikan suatu topik permasalahan tanpa adanya peran pemimpin. Group Discussion memberikan kesempatan para praktisi HR untuk mengevaluasi tingkah laku pelamar dalam situasi kelompok. Tingkah laku yang diharapkan sesuai nilai dan budaya perusahaan menjadi dasar untuk menentukan pelamar yang lolos seleksi ini.

Umumnya diterapkan pada posisi staff dan junior management. Latar belakang pengalaman kerja yang minim membuat pelamar pada posisi mungkin belum terbiasa bertingkah laku sesuai nilai dan budaya perusahaan. Dimensi lain yang dapat terukur adalah kepemimpinan, analisa permasalahan, inovasi, dan pengambilan keputusan.

c.In-basket

Sekumpulan surat, memo, laporan, dan informasi lain yang diterima oleh seorang manajer untuk posisi tertentu. Pelamar diminta untuk memecahkan permasalahan yang terkandung dari setiap informasi yang diterima dengan menggunakan berbagai pertimbangan, seperti efisiensi dan efektivitas kinerja, kemampuan finansial, ketersediaan sumber daya manusia, prioritas waktu, dll.

Mengingat teknik In-basket cukup kompleks dan memakan waktu, teknik ini diberikan untuk posisi management terutama senior level. Dimensi yang dapat terukur antara lain, perencanaan dan organisasi, delegasi, kontrol manajemen, dan analisa permasalahan.

d.Presentation

Pidato singkat yang dilakukan pelamar untuk suatu topik tertentu. Topik yang dapat dipilih antara lain kasus yang pernah ditangani oleh pelamar, proposal project yang akan dikerjakan, atau ulasan lainnya. Presentation terbilang mudah dilakukan dan dapat mengevaluasi kemampuan komunikasi pelamar.

Seperti In-basket, teknik ini digunakan untuk seleksi level middle dan senior management. Posisi ini telah cukup strategis untuk membahas secara mendalam pengalaman pelamar sebelumnya atau rencana tindakan pelamar bila diterima perusahaan.

e.Role Play

Tes situasional yang menempatkan pelamar pada peran sesuai posisi yang dilamar dan memecahkan permasalahan yang timbul. Contohnya, pelamar posisi Telemarketing diminta untuk mendemonstrasikan bagaimana cara menjawab telepon dari pelanggan yang masuk. Pelamar berperan sebagai Telemarketer, sedangkan tim praktisi HR berperan sebagai pelanggan.

Teknik seleksi ini bersifat operasional sehingga cocok untuk posisi di level staff dan junior management.

Portfolio and Performance Samples

Portfolio adalah contoh hasil kerja yang dipilih karyawan untuk menggambarkan kualifikasi yang dimilikinya. Contohnya, desain maket untuk seleksi Architecture Engineer, rekaman suara untuk seleksi reporter TV, dll. Sementara Performance Samples adalah contoh hasil kerja yang ditampilkan karyawan selama proses seleksi. Contohnya, test drive untuk driver. Melalui Portfolio and Performance Samples, praktisi HR dapat melihat bukti konkrit dari kualifikasi pelamar, khususnya pada posisi junior, middle dan senior management. Umumnya mereka telah memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan Portfolio dan Performance Samples dari pengalaman kerja sebelumnya.

Reference Check

Mengakhiri seluruh teknik seleksi sebelumnya, para praktisi HR dapat menggunakan jejaringan yang dimiliki untuk mengetahui bagaimana kinerja dan sikap pelamar di perusahaan-perusahaan sebelumnya. Reference Check yang dilakukan dapat lebih tulus karena pelamar tidak mengetahui pendapat pemberi referensi.

Namun, terkadang pelamar juga menyediakan kontak tertentu yang dapat memberikan referensi dirinya. Biasanya kontak yang memiliki pengalaman kerja positif dengan pelamar. Kontak seperti ini pun dapat dipercaya, mengingat mereka memperhitungkan kredibilitas profesional saat memberi referensi.

Dari seluruh penjelasan di atas, tampak tersedianya berbagai teknik seleksi yang dapat dipergunakan. Yang perlu diingat adalah lamanya proses seleksi tidak menjamin ketajaman proses seleksi. Para praktisi HR lebih baik menggunakan beragam teknik yang memakan waktu yang minim ketimbang sedikit teknik dengan waktu yang panjang. Contohnya, lebih baik menyeleksi Marketing Manager dengan 1 jam Case Study, 1 jam Presentation, 1 jam In-Basket ketimbang dengan 1 jam Presentation dan 2 jam In-Basket. Variasi teknik memberi kesempatan melihat lebih banyak dimensi. Akibatnya, saat intuisi berbicara, praktisi HR dapat menetralisirnya dengan menggunakan bukti konkrit.

*)penulis adalah praktisi HR, tinggal di Jakarta

Mengelola SDM Ternyata Tidak Mudah

Oleh: Nukman Luthfie


Saya baca berulang-ulang email tersebut. Intinya, ia merasa, bahwa di awal pendirian usaha, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun citra usaha serta bagaimana menembus pasar. Memang sumber daya manusia (SDM), serta modal usaha merupakan dua tantangan lain saat itu. Namun ia berhasil mengatasinya dengan baik saat itu. Ia misalnya, bisa merekrut orang-orang yang dikenal dan dipercayai. Modal pun bisa didapat dari berbagai cara. Nah, yang jelas terasa amat sulit di saat awal adalah bagaimana meyakinkan pasar agar mempercayainya.

Kini, setelah ia berhasil menaklukkan pasar, maka dua tantangan lainlah yang mulai dirasakan lebih berat. Ya, dengan semakin banyaknya proyek yang berdatangan, ia membutuhkan modal yang lebih banyak. Memang, dengan aset lancar dan laba ditahan perusahaan, ia cukup punya modal. Namun karena nilai proyeknya memang besar, ia membutuhkan dana investasi tambahan.

Kecuali itu, perusahaan juga membutuhkan lebih banyak SDM untuk mengelola perusahaan yang sedang berkembang tersebut. Ia sudah harus melakukan rekrutmen secara profesional, karena tak cukup hanya mengandalkan rekrutmen dari orang-orang yang dikenal. Sama dengan sebagian besar perusahaan menengah kecil dengan karyawan kurang dari 20 orang lainnya, perusahaan ini tak memiliki orang SDM karena merasa belum layak secara bisnis memilikinya. Maka pontang-pantinglah ia melakukan rekrutmen, tanpa dibekali oleh ilmu SDM. Selain harus melewati proses rekrutmen dan seleksi yang melelahkan, tak jarang perusahaan salah memilih karyawan. Kandidat yang kelihatannya pintar, antusias, profesional ketika diwawancara, bahkan berhasil lolos psikotes, ternyata memble setelah bekerja setahun. "Bagaimana mungkin, karyawan itu bisa berubah seperti itu? Apa penyebabnya? Lantas, bagaimana upaya perusahaan agar bisa mengangkat kembali motivasinya?" tulis sahabat saya itu.

Apa yang saya baca tersebut, saya yakin, juga banyak dihadapi perusahaan menengah kecil lain. Sebagai pengusaha, bagaimana pun juga mereka harus memikirkan peraturan perusahaan, jenjang karir karyawan, deksripsi kerjaan, kompensasi dan benefit, serta seabreg hal lain mengenai manajemen SDM. Perusahaan besar pun juga menghadapi masalah yang sama, namun karena kebanyakan perusahaan besar saya asumsikan sudah memiliki Manajer SDM, serta sistem yang lebih mantap untuk mengelola SDM, masalah-masalah seperti itu relatif lebih terkelola. Sebaliknya, karena berdasarkan pengamatan saya banyak perusahaan baru atau perusahaan menengah kecil yang tidak memiliki manajer sdm dan sistem yang mapan, maka seperti ditulis rekan saya itu pun terjadilah: "Mengelola sumber daya manusia ternyata tidak mudah".

Perusahaan kecil bisa naik pangkat menjadi perusahaan menengah, perusahaan menengah bisa berkembang menjadi perusahaan besar, dan perusahaan besar bisa semakin berkibar, jika bisa mengelola SDM dengan baik. "SDM adalah aset perusahaan" adalah jargon yang sering digembar-gemborkan, dan makin hari makin terasa hambar. Namun, di tingkat praktis, ini bukan lagi jargon. Ini masalah serius yang dihadapi banyak perusahaan. Banyak perusahaan akhirnya gagal memanfaatkan momentum untuk naik pangkat karena masalah yang satu ini. Sayang, sumber ilmu mengenai manajemen SDM yang asli Indonedia di Indonesia masih terasa kurang.

Wahana untuk saling berbagi masalah SDM dan media untuk bertanya masalah SDM juga masih sedikit. Dari semangat inilah lahir PortalHR.com ini tepat pada tanggal 17 Agustus 2006. Ya, kelahiran media online pertama di bidang sdm di Indonesia ini memang bertepatan dengan dirgahayu kemerdekaan negeri kita tercinta yang ke 61. Kami semua, manajemen dan karyawan PortalHR.com memperingati hari bersejarah ini dengan memperkaya upaya pihak-pihak lain yang selama ini juga memiliki perhatian lebih kepada dunia SDM di Indonesia. Kami semua berharap, portal ini berkembang dan menjadi acuan bagi para pakar SDM, praktisi SDM, pengusaha kecil-menengah dan besar, perguruan tinggi, serta para karyawan/pekerja/buruh agar bisa meningkatkan performa dan kualitas SDM di Indonesia.

Transformasi Sumber Daya Manusia

Oleh: Marina Tusin


Dalam banyak paparan baik yang tertulis maupun dalam seminar-seminar, upaya untuk meningkatkan peran SDM di berbagai organisasi perusahaan semakin sering kita dengar. Dimulai dari hal-hal yang bersifat mendasar, penyebutan nama unit organisasi SDM misalnya, dan penggunaan nama personalia menjadi Sumber Daya Manusia. Akhir-akhir ini bahkan mulai banyak kita dengar penggunaan nama Human Capital.

Sesuai dengan namanya, peran manajemen SDM pun telah banyak melalui proses transformasi. Dari peran dan fokus pada kegiatan administrasi personalia semata-mata, menjadi mitra bisnis dari jajaran manajemen ini. Manifestasi peran strategis ini salah satunya dapat terlihat dari keterlibatan langsung para pimpinan puncak perusahaan dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis SDM; keberadaan anggota direksi yang khusus mengelola aspek perencanaan dan pengembangan SDM.

Sebagaimana dikatakan oleh David Ulrich, seorang pakar dan penulis di bidang SDM : HR should not be defined by what it does but by what it delivers to the organization's customers, investors and employees. Peran dan fokus tidak lagi pada aspek standard staffing dan penyelesaian isu-isu kompensasi misalnya, tetapi lebih pada aspek-aspek yang berorientasi pada outcomes.

Dan berbagai survei dan pengamatan, isu-isu strategis SDM belakangan ini semakin sering kita dengar; semakin banyak menjadi topik bahasan menarik dalam forum-forum eksekutif. Pengembangan kepemimpinan, transformasi organisasi dan budaya perusahaan, identifikasi dan pengelolaan talenta, peningkatan produktivitas dan pembelajaran, perencanaan dan penyelenggaraan program-program pelatihan telah menjadi fokus perhatian para jajaran pimpinan perusahaan. Fenomena ini merupakan gambaran yang amat menggembirakan bagi kita para profesional SDM. Isu SDM tidak lagi semata-mata menjadi isu SDM, tetapi telah menjadi isu strategis para eksekutif pengelola bisnis dan organisasi.

Sekalipun banyak perusahaan yang telah melalui proses transformasi SDM sebagaimana disebutkan di atas, masih banyak perusahaan yang masih mencoba mengidentifikasi di mana sesungguhnya letak permasalahan yang dihadapi, khususnya yang terkait dengan aspek manajemen SDM. Keluhan-keluhan para jajaran eksekutif yang banyak kita dengar antara lain, bahwa manajemen SDM perusahaan tidak dapat merespon cepat kebutuhan-kebutuhan bisnis perusahaan seperti misalnya menurunnya kepuasan pelanggan, pertumbuhan revenue, dll.

Di sisi lain, data dan informasi SDM yang tersedia seringkali sulit dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan-keputusan strategis SDM perusahaan. Kebijakan dan prosedur pengelolaan SDM tidak jelas, tidak konsisten penerapannya. Mengapa kita tidak dapat menarik, mempertahankan tenaga profesional yang handal.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, assessment / kajian terhadap kondisi current state dari manajemen SDM akan sangat membantu. Sebagian perusahaan menggunakan istilah HR Audit; ada yang menggunakan istilah HR Diagnostic Review atau HR Organizational Assessment. Pada intinya semua adalah sama, yaitu mengukur efektivitas pengelolaan SDM perusahaan dalam memenuhi kebutuhan bisnis dan organisasi.

Sebagai suatu perangkat diagnostik awal, berikut kami sajikan suatu kerangka pendekatan yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang merasa perlu melaksanakan assessment sebagaimana dijabarkan di atas. Pertama-tama, analisa dan tetapkan fokus / alasan utama mengapa assessment perlu dilakukan. Kelompokkan kemudian informasi / pertanyaan ke dalam sejumlah topik :

• HR mission and vision, objectives and strategy

Adakah keterkaitan antara strategi bisnis dan strategi SDM (misal, di saat fokus bisnis perusahaan adalah pada aspek-aspek pertumbuhan revenue, kepuasan pelanggan, perbaikan kualitas, sejauh mana strategi SDM turut mempertimbangkan program-program seperti pengembangan kepemimpinan, transformasi budaya perusahaan, organisasi dll). Apa yang penting menjadi sasaran utama keberadaan organisasi SDM? Peran SDM?

• HR organizational structure

Berdasarkan sasaran dan strategi yang telah ditetapkan, sejauh mana pengelompokan fungsi-fungsi organisasi SDM menunjang pencapaian sasaran dan strategi? Apakah pengelolaan SDM akan menjadi lebih efisien bila sebagian kegiatan dilakukan di-shared service center / outsource? Berapa jumlah staf yang ada? Profil kompetensi? Sejauh mana profil kompetensi yang ada menunjang pencapaian sasaran dan strategi SDM? Apa yang diharapkan menjadi ukuran kinerja SDM?

HR policies and practices

Sejauh mana kebijakan-kebijakan SDM yang ada menunjang sasaran dan strategi SDM? Sejauh mana keterkaitan terapan kebijakan dan praktek-praktek SDM dengan hasil (HR outcomes)? Apakah kinerja karyawan meningkat? Absentism menurun? Orientasi karyawan pada pelanggan meningkat? Pendelegasian wewenang pengambilan keputusan berjalan efektif?

• HR Information Technology.

Sejauh mana teknologi mendukung efektivitas dan efisiensi pengelolaan SDM?

HR client / customer focus

Siapa yang menjadi client/customer (pelanggan) dari SDM? Sejauh mana kepuasan pelanggan SDM diukur? Sejauh mana ukuran kinerja SDM terutama yang terkait dengan aspek kepuasan pelanggan dirumuskan secara jelas? Sejauh mana isu-isu kepuasan pelanggan dikelola? Sejauh mana teknologi menunjang kelangsungan proses SDM dengan HR client ?

Mudah-mudahan pertanyaan-pertanyaan diatas dapat bermanfaat dalam menganalisa sejauh mana langkah-langkah untuk meningkatkan lebih jauh efektivitas manajemen SDM perusahaan diperlukan. Sebagaimana disampaikan oleh Ulrich, HR can del-ver excellence in four ways: becoming a Partner in Strategy Execution; becoming an Administrative Expert; becoming an Employee Champion; and, becoming a Change Agent.

Kesadaran, kesediaan para eksekutif perusahaan untuk melakukan investasi di SDM sebagaimana halnya investasi di bidang bisnis, ditunjang dengan apresiasi lebih terhadap nilai dan kapabilitas profesional SDM, memungkinkan suatu organisasi merealisasikan potensi dari karyawan yang dimiliki secara lebih optimal.�

Penulis adalah Managing Partner TASS Consulting, Chairman Human Capital Forum 2005-2006

Sumber: Majalah HC

Perbaikilah Kepribadian Anda,

dan Anda Akan Sukses

Oleh: Tunggul Tranggono


"You are free to choose, but the choice you make today will determine what you will have, be and do in the tomorrows of your life" Zig Ziglar.

Hasil survey Stanford Research Institute, Harvard University & Carnegie Foundation menyimpulkan: Bahwa lima belas persen (15 %) dari alasan mengapa seseorang berhasil meraih keberhasilan dalam pekerjaan banyak ditentukan oleh penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengenai profesi. Bagaimana yang 85 %? Delapan puluh lima persen dari mereka yang meraih sukses, banyak ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan mengenai manusia! Survey yang lain pada 16 (enam belas) jenis industri di Amerika menunjukkan bahwa ternyata prestasi seseorang tidak ditentukan oleh faktor pendidikan formal apakah seseorang tersebut sarjana atau bukan sarjana,bukan oleh faktor jenis kelamin apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, bukan oleh ras apakah mereka itu kulit putih atau kulit hitam, dan juga bukan oleh umur apakah diatas 40 tahun atau dibawah 40 tahun.

Prestasi seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Bahkan disimpulkan juga bakat yang dibawa sejak lahir hanya berperan sebagai faktor imbuhan saja bagi prestasi seseorang. Kepribadian dan prestasi ibarat flight-attitude yang di-install pada cockpit pesawat terbang. Bila flight attitude menunjukkan kemiringan 45 derajat, maka berarti pesawat miring 45 derajat. Bila kepribadian seseorang tidak positif, maka prestasi yang bersangkutan tidak akan sukses, walau faktor pendukung kesuksesan yang lain dimilikinya. Oleh sebab itu apabila seseorang ingin sukses, tidak ada jalan lain kecuali menimba terus ilmu dan pengetahuan agar wawasannya luas, bekerja terus menerus agar memperoleh pengalaman dan mempertajam keterampilan, berpola pikir dan berpola tindak positif untuk makin menampilkan kepribadian yang positif. Tiga faktor ini yaitu "knowledge, skill and behaviour" oleh Dale Carnegie disebut sebagai faktor keberhasilan seseorang (The Triangle of Success).

KNOWLEDGE

Perjalanan jaman senantiasa diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi manusia yang terlahir pada jamannya dituntut setidak-tidaknya mengetahui apa yang terjadi dan sedang berkembang, kemudian menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut dengan sikap yang adaptatif walau harus melakukan perubahan yang memerlukan pengorbanan. Dalam konteks bekerja dan pekerjaan misalnya, penerapan teknologi yang modern sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat mau tidak mau harus diterima dengan baik, sebab kalau kita tidak melakukannya, bukan hanya ketinggalan dengan yang lain, tetapi bahkan mungkin kita akan terlindas dengan perubahan/kemajuan yang sedang berlangsung. "Make change an ally!" Jadikan perubahan itu sahabat anda. Sebab alergi dengan perubahan, kita akan mandeg.

Dalam pergerakannya, ada satu hal yang tidak pernah berubah, yaitu bahwa jaman akan menawarkan kepada kita berbagai kesempatan terus menerus. Tinggal terserahlah kepada kita akan menyambut kesempatan tersebut dan menangkap atau membiarkannya berlalu. Yang jelas kesempatan yang sama tidak akan datang lebih dari satu kali, hilang diambil oleh yang lain atau lenyap tertelan waktu. Siap atau tidak siap salah satu keberhasilannya tergantung penguasaan kita terhadap ilmu kita yang kita miliki. Sebab menangkap kesempatan harus berbekal ilmu pengetahuan. Semakin luas ilmu kita semakin cakap kita mengambil kesempatan. Hanya orang yang membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan yang banyak mampu menangkap berbagai peluang dan kesempatan.

SKILL

Keterampilan pada akhirnya akan dicapai seseorang apabila mereka melakukannya dalam praktek. Penguasaan ilmu pengetahuan saja tidaklah cukup untuk bisa disebut sebagai terampil apalagi ahli. Dengan praktek seseorang akan menemui berbagai pengalaman yang sangat variatif, berbagai persoalan dan bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut. Ini membuat penguasaan terhadap fungsi pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya semakin tajam. Berbekal ilmu pengetahuan ditambah pengalaman, seseorang akan mudah menemukan esensi dari ilmu pengetahuan tersebut, yang akan berpengaruh kepada keberhasilan dalam pengeterapannya. Solusi-solusi terhadap masalah bisa dipermudah sebab esensinya dikuasai. Untuk rakyatnya yang diharapkan bisa mandiri dan tidak tergantung kepada negara lain / kapitalis, Mahatma Gandhi menghimbau agar rakyatnya mempraktekkan ilmu pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk melakukan produksi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.. Beliau mengibaratkan betapa tinggi praktek itu dengan perumpamaan bahwa satu ons praktik nilainya sama dengan satu ton ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah dengan praktik, seseorang akan mendapatkan banyak manfaat dan ilmu yang lebih detail dan mendalam, sebab betul-betul dirasakannya dan dipahaminya.

BEHAVIOUR

Dipengaruhi oleh karakter yang terbawa sejak lahir, serta lingkungan kehidupan sehari-hari, seseorang akan tampil dengan ciri khusus yang mengemuka sebagai behavior dalam bentuk pola pikir dan pola tindaknya. Tampilan ini secara umum disebut sebagai kepribadian atau personality yang dalam awal tulisan disebut mempengaruhi pencapaian prestasi seseorang dengan dominan. Ada yang beranggapan kepribadian adalah pembawaan yang merupakan keturunan dari orang tua, atau yang tak bisa dirobah. Seorang sarjana, James William, menyatakan bahwa kepribadian seseorang ibarat bawang merah, yang apabila dikupas kulitnya, akan diketemukan kulit yang lain, begitu berkali-kali. Artinya kepribadian sebagai potensi sesungguhnya sangat banyak dimiliki oleh seseorang. Namun tidak nampak. Yang nampak atau ditampilkan sekarang ini adalah sebagian saja dari kepribadian yang dimilikinya. Hakekat dari pengibaratan ini adalah bahwa kepribadian itu bisa dikembangkan. "Attitude is learned, not inherited." Bisa dipelajari, bukan bawaan keturunan.

SELF DEVELOPMENT

Dengan berbekal ilmu pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skill) dan kepribadian (attitude & behaviour) yang dimilikinya, seseorang akan berhasil dalam pekerjaannya dan berprestasi tinggi. Namun itu tentunya tidak cukup. Perjalanan zaman membuat pula "social environment" berkembang. Oleh sebab itu prestasi pun harus berkembang dari waktu ke waktu sehingga seseorang senantiasa dalam posisi "kini lebih baik". Ibarat perjalanan, prestasi berawal dengan pertanyaan untuk diri sendiri ; siapa saya, dimana saya, hendak kemana saya, bagaimana caranya agar sampai kesana.

SIAPA SAYA?

Alangkah sulitnya seseorang yang ingin berkembang tetapi tidak mengenal dirinya sendiri. Untuk itu jurnal kehidupan senantiasa harus diikuti, neraca kehidupan senantiasa harus dibuat. Dengan introspeksi, dengan retrospeksi. Seberapa luas ilmu pengetahuan kita miliki? Seberapa terampilkah kita bekerja? Sepositif apakah kepribadian kita? Pengenalan diri sendiri dan kesadaran akan kekuatan serta kelemahan sendiri merupakan modal utama seseorang untuk bisa melakukan pengembangan diri. Tidak pula bisa dianggap sepele adalah pengenalan seseorang dari atau oleh orang lain yang harus dimanfaatkan sebagai 'feed-back' bagi koreksi akan hal-hal yang tidak baik pada diri kita.

DIMANA SAYA?

Seseorang hidup di tengah-tengah masyarakat, tidak terlepas dari interaksi antar berbagai aspek kepentingan baik manusia yang memiliki kepribadian berbeda-beda., dengan teman sekerja, lembaga / perusahaan dimana kita bekerja, masyarakat, bahkan sistem kerja yang saling interaksi secara global. Seseorang selalu berada di tengah-tengah berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Oleh sebab itu dimana letak posisi seseorang dalam interaksi organisasi, apa statusnya, harus disadari sebagai awal pijak perjalanan prestasi yang panjang.

HENDAK KEMANA SAYA?

Tujuan hidup hendaklah jelas. Clear Goal in Life kata sebagian orang. Bekerja sebagai usaha mewujudkan tujuan hidup haruslah jelas juga.Buat apa kita bekerja? Puaskah kita dengan kondisi sekarang? Atau kita ingin berkembang? Kemana kita akan menuju? Menentukan tujuan dengan jelas merupakan motivasi yang akan menggerakkan kita. Seberapa kuat (strength) kita, apa saja kelemahan (weakness) kita. Apabila sudah kita ketahui, dinamika interaksi sosial banyak menawarkan peluang (opportunities). Bahwa kita bisa menggapai kesempatan, adalah tergantung kesiapan kita. Adakah itu? Di samping itu harus diwaspadai pula bahwa di dalam berbagai kesempatan, ada juga ancaman -ancaman (threats) yang bisa membuat tujuan kita gagal.

BAGAIMANA CARANYA?

Dibumbuhi oleh semangat (enthusiasm), seseorang harus mencapai prestasinya. Untuk itu dalam pelaksanaannya haruslah berbahasa prestasi, bermotif prestasi (achievement motive orieented). Pada diri seseorang, motif prestasi bisa dikembangkan. Kebiasaan mengetahui apa yang dilakukan, senantiasa ingin mencapai hal yang lebih baik dari waktu sebelumnya, membandingkan antara hasil dan resiko-resiko, akan membawa seseorang kepada peningkatan motif prestasi yang semakin tinggi. Akhirnya secara naluriah pada diri seseorang akan terbentuk jiwa yang selalu ingin berprestasi. Seiring perjalanan hidupnya, tampillah suatu sosok jati diri yang mencerminkan kepribadian yang positif,yang bisa filling-nya mempercepat pemilihan antara kegiatan yang berguna bagi prestasinya dengan yang tidak. Dan kata tanya yang tepat untuk ini adalah di dalam kita berkegiatan atau bekerja, selalu ada pertanyaan kepada diri sendiri kenapa tidak yang terbaik yang aku lakukan?

PRESTASI, TERMINAL DARI TUJUAN

Individu adalah bagian dari institusi. Apabiia individu-individu berkembang, berkembang pulalah institusi, demikian sebaliknya. Dan apabila institusi berkembang, celah dan kesempatan semakin banyak, yang bisa kita tangkap semakin banyak pula kemungkinannya. Secara umum, "performance" kita akan saling terkait dengan performance institusi dimana kita bekerja. Oleh sebab itu bagi yang memahami alur pemikiran ini tak ada pilihan kecuali mengejar prestasi dengan bekerja sebaik-baiknya, sebab jalan kearah pencapaian tujuan semakin terbuka.

Pada akhirnya seiring perjalanan umur, sampailah kita di terminal tujuan hidup kita, di puncak karir dan bolehlah kita menghela nafas panjang sambil berucap: "Alhamdulillah, aku menjadi sebaik-baik diriku. Alhamdulillah tidak sia-sia hidupku,".

Sumber: Majalah Human Capital No. 13 | April 2005

Memahami Siklus Perubahan

Oleh: Meisia Chandra


Salah satu peran "baru" HRD yang belakangan ini banyak didengungkan adalah sebagai agen perubahan. Jelas ini sebuah tuntutan ideal yang tidak mudah. Salah satu kendalanya ialah asumsi bahwa karyawan akan menerima perubahan sebagaimana adanya, sebagai sesuatu yang akan terjadi, dan menjalankannya apa adanya.

Hal seperti itu jarang sekali terjadi. Sebaliknya, perubahan lebih sering dianggap sebagai sumber penyebab rasa takut, perasaan kehilangan atas suasana yang sudah familiar, dan kecemasan-kecemasan lain. Sehingga, perlu waktu bagi karyawan untuk memahami makna perubahan itu dan berkomitmen terhadap perubahan itu dengan baik.

Karena itu, penting bagi para manajer HR untuk mengerti bahwa setiap orang cenderung melalui tahapan-tahapan dalam mengatasi perubahan. Memahami adanya tahapan-tahapan yang wajar terjadi terhadap suatu perubahan akan membantu para change agent tersebut untuk mengantisipasi reaksi yang akan terjadi, dan juga tidak bereaksi berlebihan apabila terjadi perlawanan.

Tahapan yang terjadi dalam menghadapi perubahan, mirip dengan proses yang dialami ketika seseorang kehilangan seorang yang disayanginya.

Tahap I: Menyangkal

Strategi awal yang biasa digunakan orang dalam menghadapi perubahan adalah menyangkal apa yang terjadi, atau menyangkal bahwa hal itu akan berlanjut terus. Respons-respons yang biasa terjadi dalam tahapan ini biasanya:

"Ah, aku sudah pernah mendengar hal beginian sebelumnya. Ingat nggak tahun lalu mereka mengumumkan inisiatif konsumen baru? Enggak ada yang terjadi tuh, dan yang ini juga akan segera berlalu."

"Alah, paling-paling cuma gagasan bos-bos yang gak berotak."

"Aku bertaruh ini akan jadi seperti yang lain-lain. Paling-paling hebohnya selama enam bulan saja dan setelah itu semuanya akan kembali normal. Lihat saja."

"Aku akan percaya kalau sudah melihat."

Orang-orang dalam tahapan Menyangkal ini mencoba menghindar untuk menghadapi ketakutan dan ketidakpastian karena perubahan yang akan terjadi. Mereka berharap mereka tidak perlu beradaptasi.

Menghadapi tahap menyangkal ini akan sulit karena tidak mudah melibatkan orang-orang untuk merencanakan masa depan, ketika mereka tidak mau menerima masa depan akan berubah dari saat ini.

Mereka akan keluar dari tahap menyangkal ketika mereka melihat indikasi-indikasi yang jelas bahwa perbedaan telah terjadi. Bahkan setelah melihat indikasi-indikasi itu beberapa orang tetap saja menyangkal.

Tahap II: Marah dan Menolak

Ketika seseorang tidak bisa lagi menyangkal, mereka cenderung pindah ke tahap marah, yang diikuti dengan penolakan secara langsung atau pun tersamar. Tahapan ini sangat kritis dalam keberhasilan implementasi perubahan. Kepemimpinan yang baik diperlukan dalam mengatasi tahapan ini, dan memindahkan individu tersebut ke tahapan berikutnya. Bila kepemimpinan tidak baik, maka kemarahan dalam tahap ini akan berlangsung terus, mungkin jauh lebih lama dari perubahan itu sendiri.

Orang yang berada dalam tahapan ini biasanya mengatakan hal-hal seperti:

"Emangnya mereka siapa sih? Ngatur-ngatur kita."

"Mengapa mereka menyudutkan kita?"

"Apa salahnya dengan kondisi saat ini?"

"Teganya bos membiarkan hal ini terjadi."

Seringkali malah yang dikatakan jauh lebih kasar dan kuat.

Tahap III: Eksplorasi dan Penerimaan

Pada tahapan ini orang-orang sudah mulai agak tenang. Mereka berhenti menyangkal, dan meski masih sedikit marah, kemarahan mereka sudah bisa dikesampingkan. Mereka sudah lebih mengerti makna perubahan itu dan lebih bersedia mencari tahu lebih jauh, dan akhirnya menerima perubahan itu. Mereka lebih terbuka, dan kini lebih tertarik untuk ikut merencanakan hal-hal sekitar perubahan itu dan ikut berpartisipasi dalam proses tersebut.

Dalam tahapan ini mereka biasa mengatakan:

"Well, kurasa memang kita harus melakukan yang terbaik."

"Mungkin kita akan bisa melalui ini dengan baik."

"Kita perlu meneruskan bisnis."

Tahap IV: Komitmen

Inilah tahapan terakhir, di mana orang sudah bisa berkomitmen pada perubahan, dan bersedia bekerja untuk menyukseskan perubahan itu. Mereka memahami kenyataannya, dan pada titik ini mereka sudah cukup beradaptasi untuk ikut menyukseskan perubahan. Meskipun ada perubahan-perubahan tertentu yang tidak mungkin mendapatkan penerimaan dari karyawan (contohnya: pengurangan jumlah karyawan), pada tahap ini karyawan akan berkomitmen untuk membuat organisasi berjalan dengan lebih efektif.

Perubahan adalah suatu proses yang memakan waktu. Jangan meremehkannya dengan berasumsi bahwa semua akan "berjalan dengan sendirinya". Jangan bereaksi secara berlebihan bila menghadapi penolakan. Malah, kita harus khawatir bila tidak ada penolakan. Pada perubahan yang cukup signifikan ada kemungkinan orang-orang menyembunyikan reaksi mereka. Ini harus diantisipasi untuk menghindari reaksi yang muncul belakangan dan tidak tertanggulangi, yang bisa mengganggu jalannya organisasi. Apalagi bila reaksi itu sudah berbentuk kemarahan.

HR Berubah, Siapa Peduli?

Oleh: Is Mujiarso


"Selera orang HRD memang aneh," demikian komentar yang kerap terdengar setiap kali ada karyawan baru muncul di kantor. Tentu saja komentar semacam itu muncul dari bibir karyawan lama yang merasa bahwa si pendatang baru itu tidak meyakinkan, atau berpenampilan yang kurang sesuai dengan "budaya" perusahaan.

Bukan cerita baru kalau HRD merupakan bagian yang paling sering menjadi bahan olok-olokan di tempat kerja. Sinetron OB (Office Boy) yang sukses di RCTI bahkan telah membuat olok-olok itu keluar dari batas dinding perusahaan dan menjadi wacana publik. Dalam sinetron komedi itu, HRD sebuah stasiun TV menjadi setting cerita dengan tokoh-tokoh utama para penghuninya, dari direktur, staf hingga OB.

Kelucuan dibangun dari tingkah konyol mereka: Direktur HR Pak Taka yang dingin dan galak, dua staf utama yang selalu bermusuhan bagai anjing dan kucing --yang satu dicitrakan sebagai bujang lapuk sehingga sering diledek sebagai penyuka sesama jenis; sedangkan yang satunya lagi bertingkah playboy kecakepan dan tengil. Satu lagi: sekretaris yang centil, manja dan kerjaannya hanya mengecat kuku serta menelpon mantan-mantan pacarnya.

Pendek kata, sinetron itu telah menguatkan stereotip karikatural citra HR selama ini di mata karyawan atau unit lain dalam sebuah perusahaan. Kalau Anda direktur atau manajer HR, atau staf di departemen tersebut, pastilah sulit untuk tertawa melihat sinetron itu, karena akan sama artinya dengan menertawakan diri sendiri. Kecuali, maaf, Anda tidak sekritis itu, dan menganggap sinetron itu semata lelucon yang tidak berdiri di atas keterpurukan citra sebuah kelompok yang selama ini dianggap marginal dalam perusahaan.

Apa yang dilukiskan oleh sinetron itu, tentu saja kontraproduktif terhadap usaha sekelompok praktisi dan akademi HR di luar sana yang dengan keras meyakinkan dunia bahwa paradigma HR sudah berubah. Bahwa HR sudah tidak seperti dulu lagi: duduk di pinggir arena bisnis, memegang CV sampai tangan bengkak, memelototi lamaran sampai mata jereng. Atau, tukang semprit bagi karyawan yang telat datang ke kantor, tukang ngitung absen dan mengurusi cuti karyawan.

Cerita seperti itu sudah lewat. Lihat, kami sekarang adalah mitra bisnis yang sejajar dengan unit-unit lain dalam perusahaan. Kami juga ikut berperan aktif mendampingi CEO dan manajer-manajer lain dalam mencapai tujuan perusahaan. Bahkan, banyak di antara kami yang mulai menaggalkan nama human resource, dan berganti menjadi human capital. Keren, bukan?

Masalahnya, sejauh mana perubahan itu bergema di luar sana? Apakah masyarakat luas peduli dengan perubahan itu? Di sinetron, orang hanya melihat direktur HR yang punya kegemaran menghukum push up stafnya, dan tak henti-henti merayu sekretarisnya dengan gaya seorang pecundang tua yang mesum. Siapa yang bertanggung jawab untuk menyiarkan kepada masyarakat bahwa HR sudah berubah? Kalau masyarakat memahami dunia HR lewat potret komikal dari sinetron, sehingga menganggap bahwa dari dulu HR yang memang begitu, siapa yang (harus di)salah(kan)?

Belum lama ini saya menghadiri Human Resources Expo 2006 di Hotel Borobudur Jakarta. Saya datang sebagai wartawan dan menjumpai kenyataan yang menyedihkan. Bahwa event sebesar itu, yang kalau dilihat dari pesertanya yang hadir dari berbagai pelosok Indonesia, tergolong berskala nasional, tidak mengundang pers untuk meliput. Saya jadi paham mengapa perubahan paradigma HR yang dibangga-banggakan oleh orang HR tak cukup bergema di kalangan non-HR. Sebab, orang HR ternyata tidak (belum) melek media. Sehingga perubahan yang mereka gembar-gemborkan itu tak terkabarkan ke masyarakat.

Human Resourses Expo 2006 merupakan serangkaian seminar dua hari yang terdiri atas 20 sesi. Sederet pembicara yang kompeten dihadirkan, dan tentu saja seminar itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang penting bagi kalangan HR, terkait dengan perkembangan praktik HR terkini di Tanah Air. Namun, apapun hasilnya, seberapa pun pentingnya, tak akan ada artinya kalau tidak tersiar ke masyarakat, dan itu sebenarnya sangat dimungkinkan melalui liputan pers.

Atau, jangan-jangan orang HR sendiri tak peduli bahwa perkembangan dunia mereka perlu dikomunikasikan kepada publik yang luas? Pasti tidak begitu. Pasti mereka sadar bahwa perubahan paradigma HR harus melibatkan perhatian semua pihak baik orang HR sendiri maupun masyarakat luas di luar HR. Barangkali selama ini orang HR hanya kurang sadar akan fungsi dan kekuatan media massa dalam mendukung dan terus mendorong perubahan yang telah dan sedang mereka upayakan.

Sinetron OB hanya satu tantangan kecil bagi orang HR untuk membuka mata dunia, dan mengatakan dengan lantang, bahwa "kami sudah berubah". Sudah saatnya orang HR berpikir dan beraksi dengan cara baru. Teruslah gelar seminar dan event-event serupa untuk mensosialisasikan perkembangan HR. Tapi, jangan lupa dekati dan akrabi pers. Libatkan mereka. Bicaralah pada mereka. Agar perubahan paradigma HR bukan hanya jargon yang menghibur diri, tapi menjadi bahan pemikiran dan kepedulian bersama, membuat masyarakat paham dan bersimpati pada isu-isu HR.

Sehingga, tak akan ada lagi gambaran HR sebagai kumpulan orang-orang tua yang kaku, dingin dan suka menghukum. Atau, "berselera aneh" seperti dibilang Emily dalam film Devil Wears Prada.

(Penulis adalah editor PortalHR.com)

Apa Mimpi Anda?

Oleh: Imam S


Konon, hanya ada dua jenis manusia di muka bumi ini. Pertama, mereka yang berani bermimpi. Kedua, mereka yang tidak berani bermimpi. Jenis kedua tidak diceritakan disini. Bukannya tak menarik, tapi saya memang sedang ingin bercerita tentang yang pertama.

Ngomong-ngomong, apakah Anda pernah bermimpi? Memimpikan meraih sesuatu, katakanlah menjadi direktur marketing dalam lima tahun ke depan, menjadi pengusaha restoran top. Lalu, demi meraih mimpi itu Anda berusaha, dan tentu saja berdoa, bersungguh-sungguh, mengerahkan segenap daya upaya bahkan rela mengucurkan keringat, darah dan air mata. Pernah?

Kalau jawabannya “ya”, saya ingin sedikit berbagi cerita tentang bermimpi. Kebetulan, saya juga sedang memimpikan sesuatu dan sedang berjuang mewujudkannya. Mimpi saya, 15 tahun dari sekarang saya menjadi wakil bupati!

Betul, saya mendapat beragam reaksi ketika saya menceritakan mimpi tersebut kepada keluarga, teman atau orang baru kenal yang mengajak mengobrol di kendaraan umum --saya bekerja di Jakarta, tapi tinggal sekitar 100 km di luar kota, dan hampir setiap hari naik bus antarkota. Tak semua komentar membesarkan hati memang. Bahkan, ada pula yang menanggapinya dengan tertawa seraya mengolok-olok --kalau ketemu yang seperti ini saya tidak ambil pusing, cuma diketawain gak bikin benjut toh?

Yang hampir pasti, dari semua pendengar (Anda juga, mungkin), saya� selalu mendapat pertanyaan sama, “Mengapa wakil bupati, bukan menjadi bupati?” Untuk menjawabnya saya biasanya buka kartu. “Selain dorongan hati nurani, mimpi saya ini ada teorinya lho. Gak asal ngimpi!”

“Teori” mengenai bermimpi ini saya dapatkan saat mengikuti pelatihan Kubik Leadership pertengahan 2006 lalu. Pelatihan yang dimotori Jamil Azzaini, Indrawan Nugroho dan Farid Poniman ini memang mengajak pesertanya untuk berani bermimpi, membuat rencana untuk mewujudkannya, dan tahu kapan mimpi itu harus menjadi kenyataan.

Setiap peserta pelatihan diminta membuat mimpi besar yang spesifik dan tertulis. Mengapa tertulis? Ini merujuk pada sebuah hasil penelitian yang dilakukan Yale University Amerika kepada mahasiswanya yang lulus. Yale University menanyai mereka, apakah mereka punya mimpi? Yang menjawab punya mimpi hanya 33%. Dari 33% itu ditanya lagi, berapa yang menuliskan mimpinya, ternyata 33% saja. Duapuluh tahun kemudian dilakukan penelitian, mereka yang memiliki mimpi dan menuliskannya mampu mewujudkannya dan menjadi orang besar sementara yang tidak punya mimpi menjadi orang biasa saja.

Agar bisa mewujudkan mimpi, pelatihan Kubik Leadership menginspirasi pesertanya untuk kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Tentu ada resep-resep lainnya yang mereka berikan.

Ihwal kerja cerdas, trainer Kubik Leadership Farid Poniman menjelaskan, kita harus memahami dan mampu mengoptimalkan mesin kecerdasan yang kita miliki agar bisa bergerak cepat di lintasan “mimpi” kita. Menurut dia, mengadaptasi tipologi kepribadian Jung, ada empat jenis mesin kecerdasan manusia. Yakni, Sensing, Thinking, Intuiting dan Feeling; tergantung belahan otak mana yang paling dominan bekerja atau digunakan.

Mesin kecerdasan Sensing untuk belahan otak kiri bawah (limbik kiri), mesin kecerdasan Thinking untuk belahan otak kiri atas (neokorteks kiri), mesin kecerdasan Intuiting untuk belahan otak kanan atas (neokorteks kanan), mesin kecerdasan Feeling untuk belahan otak kanan bawah (limbik kanan). Dengan mengenal mesin-mesin kecerdasan maka kita akan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan kita, sehingga kita dapat berperan secara tepat dalam menjalankan tugas-tugas.

Masih menurut Farid Poniman, setiap mesin kecerdasan memiliki orientasi berbeda. Tipe Sensing berorientasi pada “Harta”, Thinking pada “Tahta”, Intuiting pada “Kata” dan Feeling pada “Cinta”. Kubik Leadership menyebutnya sebagai 4 TA. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa mereka yang tergolong tipe Sensing akan lebih memilih mengejar “mimpi” yang berkaitan dengan kekayaan, sementara tipe Thinking lebih suka mengejar jabatan atau kedudukan.

Dari sekian jenis mesin kecerdasan itu, berdasarkan hasil tes –harus menjawab sejumlah pertanyaan tertulis untuk tahu mesin kecerdasan kita– rupanya saya termasuk tipe Instink. Tipe ini tergolong unik jika dibandingkan empat tipe yang “normal” tadi.

Jika keempat tipe tadi hanya dominan di satu sisi, tipe Instink mampu menggunakan keempat belahan otaknya dengan sama baiknya. Karenanya, tipe Instink berpotensi sukses “mengejar apa saja”. Namun, yang teristimewa dari tipe in, akan lebih sukses dan nyaman jika menempati “posisi kedua”, misalnya dengan menjadi wakil bupati!

Itu sekelumit cerita soal bermimpi. Syukur kalau Anda kemudian terinspirasi untuk punya mimpi. Dengarlah apa kata Sakichi Toyoda. Bapak pendiri perusahaan Toyota ini berujar, setiap orang perlu mengambil proyek besar paling tidak sekali dalam hidupnya dan membuat kontribusi yang positif dalam hidup ini.

Nah, sekarang, apa mimpi Anda?

Bekerja: Untuk Apa?

Oleh: Imam S


“Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta sejak sepuluh tahun lalu. Namun saya merasa hidup saya tidak mengalami peningkatan. Di kantor, karir saya tidak naik-naik. Padahal, saya merasa sudah sibuk bekerja keras, pergi pagi dan pulang malam. Saya seperti disibukkan dengan pekerjaan yang tiada henti-hentinya namun tak kunjung mendapatkan hasil yang diinginkan.”

Pernahkah Anda mendengarkan keluhan seperti itu? Atau, jangan-jangan itu lagu favorit yang Anda dendangkan setiap kali bertemu dengan teman lama yang tampak sudah lebih sukses. Siapa tahu?

Tapi, pernahkah Anda mencari tahu “rahasia” teman atau orang lain yang jauh lebih sukses dari Anda? Barangkali Anda memang perlu belajar dari mereka agar bisa berhasil seperti mereka. Tak ada salahnya bertanya kepada mereka resep sukses bekerja sehingga, katakanlah, disukai atasan dan teman satu tim, mendapatkan promosi, dan ide-idenya selalu didengar perusahaan.

Jika telaten Anda akan menemukan bahwa mereka yang sukses bukan orang biasa. Mereka bukan orang yang hanya mengerjakan tugas-tugas rutinitas kantor. Dengarkanlah, bahwa mereka punya mimpi dengan karir mereka. Mereka punya tujuan yang jelas yang ingin diraih dan diwujudkan. Bahkan mereka tahu bagaimana mencapai tujuan itu dan kapan akan sampai di sana.

Jangan heran apabila apa yang mereka kerjakan didedikasikan untuk tujuan besar yang sudah dibuatnya. Mereka bekerja tidak sekadar memikirkan gaji yang akan diterimanya pada akhir bulan. Mereka bekerja bukan sekadar mengisi waktu, dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 petang lalu berkemas pulang ke rumah. Mereka sibuk karena mengejar target.

Saksikanlah, mereka yang mempunyai tujuan hidup yang jelas, setiap langkah yang dilakukan merupakan realisasi dari tujuan hidupnya, hasil dari sebuah perencanaan yang sistematis. Target jangka panjangnya telah dibikin menjadi tujuan-tujuan jangka pendek, yang dapat dicapai secara realistis dan dalam jangka waktu tertentu. Mereka selalu komit dengan tujuan hidup yang telah dibuatnya sehingga tujuan hidup atau visi tersebut sudah menjadi semacam kompas yang membimbingnya menuju arah yang tepat.

Sukses dan tidak sukses boleh jadi sudah merupakan takdir. Dengan kata lain, memang ada orang yang ditakdirkan untuk berhasil dalam hidupnya, namun ada pula yang gagal. Apakah persoalan menjadi selesai hanya dengan mengkambinghitamkan takdir? Obrolan bisa bertakik-takik kalau sudah sampai ke tataran ini. Tapi satu hal, takdir merupakan resultan dari usaha kita plus campur tangan Yang Maha Kuasa. Orang bijak berkata; manusia berusaha Tuhan yang menentukan.

Sederhananya, untuk urusan yang menjadi bagian Tuhan biarlah Dia yang mengurus; kita tak usah repot-repot memikirkannya. Kita lakukan saja bagian kita, yaitu berusaha dan bekerja dengan bersungguh-sungguh mengerahkan segenap potensi yang kita miliki.

Jadi, kalau Anda sudah merasa bekerja keras namun hasilnya masih nol besar, tentu ada sesuatu yang tidak beres. Mungkin karena kerja keras yang Anda lakukan belum memadai. Atau, jangan-jangan itu terjadi karena Anda memang tidak tahu untuk apa Anda bekerja. Untuk menjadi sukses, Anda harus memutuskan dengan tepat apa yang Anda inginkan.

Saatnya bekerja dengan tujuan yang jelas!

Seni Menyeleksi Karyawan

Oleh: Kumala Sari Dewi Chung

Semua perusahaan yang hebat dibentuk oleh individu (Rupert Murdoch, The New York Post)

Saat ini para praktisi HR sedang aktif mengkampanyekan peran barunya sebagai partner bisnis strategis. Hal ini dapat dilakukan melalui proses seleksi yang jitu untuk membawa orang-orang berkualifikasi terbaik guna menjawab kebutuhan bisnis perusahaan. Tentu saja, melakukan proses seleksi tidaklah semudah yang dibayangkan. Setiap posisi membutuhkan teknik seleksi yang unik, berbeda dari posisi lainnya. Tes presentasi, misalnya, cocok untuk melihat keterampilan komunikasi dari pelamar marketing, tapi tidak mungkin diterapkan untuk mengukur kemampuan akurasi pelamar akuntansi.

Biasanya ada lebih dari satu dimensi yang menentukan keberhasilan suatu posisi. Oleh karenanya, para praktisi HR dituntut untuk menggunakan lebih dari satu teknik seleksi. Pengalaman sering membantu untuk menentukan kombinasi teknik seleksi mana yang tepat untuk posisi tertentu, dan mana yang baik untuk posisi lainnya.

Tabel berikut menggambarkan model yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan kombinasi teknik seleksi yang tepat.

Posisi Non staff umumnya membutuhkan keterampilan kasar, misalnya pekerja pabrik, office boy, security, driver. Sedangkan, yang tergolong dalam kategori Staff adalah mereka yang menjalankan fungsi operasional rutin (lulusan pemula setara diploma/strata satu). Junior Management menunjuk posisi untuk mengawasi aktivitas operasional rutin, termasuk di antaranya Assistant Manager, Supervisor, Section Head dan posisi lain dengan pengalaman minimal 3 tahun.

Middle Management menerjemahkan perencanaan strategis ke dalam tindakan operasional, yakni Manager dan posisi lain dengan pengalaman minimal 5 tahun. Adapun, Senior Management melakukan perencanaan strategis menjawab tantangan bisnis masa depan. Termasuk di dalamnya General Manager, Board of Directors, Chief of Function dan posisi lain dengan pengalaman minimal 10 tahun.

Berikut, bagian pertama dari penjelasan untuk teknik seleksi yang jitu:

Application Blank

Formulir aplikasi kerja yang umumnya diciptakan standar oleh setiap perusahaan guna melengkapi data administrasi yang dibutuhkan saat awal melakukan proses seleksi. Didalamnya berisi rincian data-data pribadi, keluarga, pendidikan, pengalaman kerja dan informasi tambahan lainnya yang mendukung. Dengan standarisasi seperti ini, para pelamar yang tidak memiliki resume yang komprehensif sangat terbantu untuk mengungkapkan seluruh kualifikasi yang dimilikinya. Khususnya pada level non staff, staff dan junior management.

Resume and Application Letter

Layaknya pelamar yang mempersiapkan busana kerja terbaik, Resume and Application Letter sangat penting untuk menciptakan impresi awal yang positif. Kesalahan kecil, seperti pengetikan yang salah, penempatan halaman yang terbalik, dan cetakan yang kabur, seyogyanya dihindari. Dari sini, praktisi HR dapat menilai latar belakang dan motivasi pelamar untuk bergabung.

Lebih jauh, analisis dapat dilakukan dengan melihat kecocokan antara kualifikasi yang dimiliki pelamar dengan kebutuhan perusahaan. Contohnya, cakupan kerja sebelumnya, lisensi dan sertifikat yang dimiliki, atau prestasi yang diraih. Resume and Application Letter berlaku umum untuk seluruh level. Sebelum mengundang pelamar untuk mengikuti proses seleksi, penting bagi praktisi HR untuk mengevaluasi materi tertulis pelamar. Dengan demikian, sedari awal praktisi HR dapat menghemat waktu dengan menghentikan proses seleksi bagi pelamar yang tidak layak.

Psycho Test

Tampilan luar sering tidak sesuai dengan isi di dalam. Inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan Psycho Test untuk meramalkan kemungkinan keberhasilan pelamar. Khususnya untuk posisi non-staff dan staff, Psycho Test sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran profil yang komprehensif, meliputi Bakat Bawaan (intelegensi, kecepatan kerja, akurasi) dan Sikap (minat, nilai, opini).

Profil pelamar yang terungkap pada suatu Psycho Test nantinya bisa dibandingkan dengan profil sekelompok karyawan rujukan yang telah membuktikan dirinya sukses pada posisi yang sama. Semakin mirip profil pelamar dengan profil kelompok rujukan, semakin besar kemungkinan pelamar tersebut berhasil.�

Penggunaan hasil Psycho Test dapat memisahkan pelamar yang memiliki kemungkinan berhasil pada posisi tertentu dari yang tidak. Sayangnya, akhir-akhir ini timbul kegusaran akibat maraknya peredaran buku panduan Psycho Test sampai membahas kunci jawaban dan cara mendapatkan profil tertentu. Oleh karenanya, para praktisi HR perlu berhati-hati dalam memilih Psycho Test yang akan digunakan.

Targeted Interview

Wawancara terstandarisasi di mana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diformulasi untuk menggali dimensi yang dibutuhkan pada posisi yang dilamar. Biasanya berfokus pada tingkah laku yang pernah ditampilkan pelamar pada pengalaman sebelumnya.

Para praktisi HR dapat membuka sesi wawancara dengan perkenalan terlebih dahulu. Tidak hanya pelamar yang memperkenalkan dirinya, pewawancara pun dapat menjelaskan tujuan wawancara, memperkenalkan organisasi dan posisi yang dilamar. Saat wawancara berlangsung, praktisi HR dapat membuat catatan singkat. Interupsi juga boleh dilakukan dengan sopan untuk mempertajam jawaban pelamar. Jika semua pertanyaan sudah dijawab, praktisi HR dapat memberi kesempatan pelamar untuk bertanya. Wawancara dapat ditutup dengan memberitahukan tindak lanjut proses wawancara.

Para praktisi HR hendaknya menjaga sikap menghargai pelamar. Jika pewawancara berlaku tidak sopan, tentu akan meninggalkan citra perusahaan yang buruk, bukan? (Bersambung: Seni Menyeleksi Karyawan 2)

Semut

Oleh: Imam S

“Sebenarnya orang tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menjadi sukses. Namun, umumnya orang tidak melakukan apa yang dia ketahui.”

Benarkah demikian? Kalau tidak percaya cobalah lakukan percobaan sederhana berikut ini. Mintalah rekan Anda (atau bisa juga Anda sendiri) membuat sebuah daftar “resep sukses”. Saya yakin mereka bisa membuat sebuah daftar yang panjang. Bahkan sangat panjang. Tapi, seperti disebutkan tadi, itu bukan jaminan bahwa mereka akan konsekuen dengan daftar yang dibuatnya tadi. Malah, boleh jadi, hanya segelintir saja dari mereka yang benar-benar mempraktekkan “resep sukses” tersebut dengan konsisten. Barangkali itu sebabnya dalam keseharian, kita lebih sering bertemu dengan orang yang kita sebut sebagai tidak sukses ketimbang yang sukses.

Dari sekian banyak manusia sukses, seringkali saya menyaksikan bahwa mereka yang benar-benar sukses adalah mereka yang dalam daftar resep suksesnya hanya mencantumkan satu kata saja. Tapi, mereka benar-benar konsekuen dan konsisten mempraktekkannya. Kata yang saya maksud adalah “ulet”!

Salah satu contoh nyata manusia ulet dan sukses adalah Sukyanto Nugroho, sang juragan Es Teler 77. Berbekal ijazah SMP, Sukiyatno mengawali peruntungannya sebagai penjual barang-barang kelontong di Jakarta. Pernah pula ia menjadi pemborong bangunan reklame, usaha percetakan dan biro jasa sekaligus tukang catut sebelum kemudian benar-benar menekuni bisnis es teler yang diberinya nama� Es Teler 77 Juara Indonesia.

Pria bernama asli Hoo Tjio Kiat ini tidak serta merta sukses. Saat memulai usahanya, beberapa kali warung tendanya digusur. Kapokkah dia? Ternyata tidak. Setiap kali digusur dia pindah lalu membangun lagi warung tenda yang baru. Begitu seterusnya, hingga akhirnya ia menyewa tempat berjualan di Mal Pondok Indah, Jakarta, untuk pertama kalinya pada 1992. Setelah itu, cabang Es Teler 77, yang dikelolanya dengan model waralaba, merambah ke mana-mana; dari Cianjur hingga Batam, dari Semarang hingga Denpasar. Setelah berkiprah selama seperempat abad, tepatnya pada 7 Juli 2007, Es Teler 77 telah memiliki 180 gerai di seluruh Indonesia dan empat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia dan Australia. Dengan modal ulet, pantang menyerah, Sukyanto muncul sebagai penjual es teler paling sukses se-Indonesia, bahkan se-dunia!

Menyimak perjalanan sukses Sukiyanto Nugroho, saya teringat kisah “Semut dan Kesuksesan” yang ditulis Syekh Dr. Aidh al-Qarni dalam buku motivasi terbarunya yang berjudul Hakadza Haddatsanaz-Zamaan (Cahaya Zaman) --diterbitkan Al Qolam, Gema Insani Press, 2007. Sebelumnya Syekh menulis sebuah buku yang sangat populer berjudul Laa Tahzan (Jangan Bersedih) --telah diterjemahkan ke dalam 29 bahasa, dan terjual lebih dari satu juta copy.

Berikut ini nukilan kisah “Semut dan Kesuksesan” yang saya ambil dari Cahaya Zaman. Di antara pelajaran terbesar yang bisa disaksikan di dalam dunia kesuksesan adalah kehidupan hewan yang bernama semut. Semut, akan selalu berusaha secara berulang-ulang dan terus-menerus, sampai ia berhasil menggapai tujuan yang diinginkan. Ia merangkak di sebuah pohon, lalu jatuh kemudian bangun lagi dan berusaha untuk merangkak lagi ke atas pohon, lalu terjatuh lagi, begitu terjadi berulang-ulang. Namun, tanpa merasa lelah dan bosan ia tetap terus berusaha sampai akhirnya berhasil naik ke atas pohon yang diinginkan dan mendapatkan apa yang dicarinya.

Jika jalan yang akan dilalui terhalang, maka ia akan berusaha lewat dari arah kanan dan kiri. Jika dengan itu tetap kesulitan untuk berjalan maju, maka ia akan berhenti sebentar, kemudian kembali lagi dengan sebuah tenaga yang jauh lebih kuat dibanding yang pertama. Mungkin ia akan menjauhi jalan pertamanya yang sulit karena ada beberapa rintangan, namun ia akan tetap kembali berjalan menuju arah yang sama dengan mencari jalan lain, sehingga ia sampai di tujuan.

Nah, sekarang coba tengok daftar “resep sukses” yang Anda buat. Kalau disitu tercantum 'ulet', tidak gampang menyerah, lelah atau bosan, apakah Anda masih merasa ragu untuk mempraktekkannya?

portalhr.com

Audrey Wardana

Manajer yang Membuat Perubahan

Oleh: Audrey Wardana


Pada 2005 lalu, IBM Global Business Services melakukan survei bertajuk The Global Human Capital Study yang melibatkan lebih dari 300 organisasi di seluruh dunia –31% responden berasal dari kawasan Asia Pasifik. Survei juga diperkuat dengan wawancara terhadap lebih dari 100 Chief Human Resources Officer (CHRO).

Hasil survei tersebut mengkonfirmasikan bahwa sebagian besar organisasi menyadari, manusia dapat memberikan perbedaan kompetitif dan memiliki kemampuan untuk mentransformasikan potensi yang dimilikinya. Namun, agar dapat merespon pasar global yang terus berubah, diperlukan komitmen perusahaan tentang program dan layanan SDM yang menyegarkan, termasuk mentransformasikan peran para manajer.

Manajer memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepuasan dan komitmen karyawan. Pemahaman ini merupakan dasar dari visi strategis yang lebih besar. Yakni, bagaimana manajer membantu karyawan memahami peran masing-masing, dan membuat mereka tetap terhubung dengan strategi perusahaan, merasa memiliki kemampuan, dihargai dan diperhatikan.

Cara yang baik untuk memulainya adalah memahami apa yang membentuk komitmen karyawan. Idealnya, para manajer harus mampu --dan diberi wewenang untuk-- mendorong faktor-faktor keberhasilan yang mempengaruhi iklim organisasi, yakni:

Kejelasan dan kepemimpinan: Para manajer dituntut untuk bisa membantu karyawan memahami strategi organisasi secara keseluruhan dan bagaimana pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan. Para manajer juga harus memastikan pimpinan senior mengambil tindakan yang perlu – berdasarkan umpan balik dari karyawan– untuk memastikan perusahaan tetap kompetitif.

Tantangan dan Kesempatan: Para manajer harus membantu mengidentifikasi atau memfasilitasi kesempatan bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan berkontribusi terhadap pekerjaan yang menantang, menarik dan berarti.

Pemberdayaan: Para manajer berkewajiban memberdayakan karyawan dalam kemampuan mengambil risiko yang memungkinkan inovasi perusahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan, bagaimana pekerjaan mereka diselesaikan dan memastikan bahwa mereka memiliki alat-alat dan sumber daya yang dibutuhkan.

Hadiah dan Penghargaan: Para manajer harus menghargai karyawan berdasarkan performa, usaha dan keberhasilan mereka. Hal ini membantu karyawan memahami bahwa pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

Fleksibilitas Kerja: Para manajer perlu menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta memberi kesempatan kepada karyawan untuk memanfaatkan sarana yang mendukung hal itu. Dengan menciptakan fleksibilitas untuk menentukan bagaimana, kapan dan di mana mereka bekerja, karyawan akan merasa dapat mengendalikan situasi yang mereka hadapi, tidak terlalu stres dan pada akhirnya menjadi lebih produktif.

Praktik di IBM

Di perusahaan kami, misalnya, pada 2004 silam mengadakan IBM WorldJam, sebuah jam kolaboratif online yang memungkinkan karyawan IBM di seluruh dunia saling berkomunikasi, berkolaborasi dan membuahkan ide-ide yang dapat membuat IBM lebih baik. Hampir 60.000 IBMer melakukan jam tentang berbagai cara mempercepat pertumbuhan yang menguntungkan, meluncurkan inovasi dan merangsang produktivitas.

Beberapa ide muncul dari situ, yang paling populer terkait dengan kepemimpinan dan peran penting manajer dalam membentuk perusahaan. Namun, ide yang dinilai paling baik dari WorldJam2004 adalah tentang menciptakan cara yang konsisten dan sistematis bagi karyawan untuk memberikan umpan balik dan pendapat mereka tentang efektivitas manajer mereka. Para karyawan mengatakan, manajer memiliki peran penting sebab secara langsung mempengaruhi iklim, retensi dan hasil bisnis.

Mereka juga percaya, hubungan manajer-karyawan yang erat dan saling percaya akan membantu membuat nilai-nilai karyawan lebih nyata. Karyawan yakin, manajer membutuhkan bantuan konstruktif agar menjadi manajer yang (lebih) baik. Melalui mekanisme tahunan yang kini sudah memasuki tahun ketiga, karyawan diminta memberikan umpan balik tentang manajer mereka. Feedback ini diproses dan masing-masing manajer akan menerima laporan yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengelola karyawan.

Perusahaan yang berinvestasi untuk mengembangkan talenta top dan manajer-manajer mereka akan memiliki keunggulan kompetitif yang dahsyat. Para manajer memiliki posisi yang unik dan penting untuk membuat karyawan menyenangi pekerjaan mereka. Kemampuan jajaran manajer untuk berbagi dan menghubungkan strategi perusahaan dengan tim-tim mereka berdampak langsung pada keberhasilan perusahaan. Sungguh pekerjaan yang berat, tapi kita harus mempercayai manajer kita mampu melakukannya sebaik mungkin.

(Penulis adalah Country Manager Human Resources, IBM Indonesia)

Melakukan Delegasi yang Efektif

Oleh: Meisia Chandra

Delegasi adalah salah satu kemampuan manajerial yang paling penting. Namun, pada praktiknya delegasi juga merupakan masalah yang paling sering dikeluhkan oleh para manajer.

Sering para manajer terjebak dalam pekerjaan rutin, sehingga lupa fungsi utama mereka, yakni membuat perencanaan, koordinasi, menganalisis, memotivasi dan lain-lain. Tak jarang juga para manajer malas melakukan delegasi dengan berbagai alasan. Padahal, akan lebih banyak yang bisa mereka lakukan seandainya mereka mendelegasikan sebagian pekerjaan yang sudah bisa didelegasikan kepada anggota tim.

Delegasi juga penting dalam perencanaan suksesi, pengembangan pribadi --juga dalam mencari dan mengusulkan promosi jabatan. Melalui delegasilah seseorang berkembang dalam suatu pekerjaan --delegasi membuat kita bisa menambah pengalaman baru untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar.

Sebelum Anda bisa melakukan delegasi dengan efektif, maka hilangkan terlebih dahulu asumsi berikut ini:

oSaya sendiri bisa melakukannya dengan lebih baik.

oSaya tidak tahu apakah saya bisa mempercayai dia untuk melakukan itu.

oDia tidak cukup baik untuk melakukan ini.

oDia tidak mau diberi tanggung jawab tambahan.

oSaya tidak punya waktu untuk menunjukkan cara melakukan ini.

oTidak ada staf yang bisa saya tugaskan untuk pekerjaan ini.

oDia sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya.

oSaya tidak ingin menyerahkan tugas ini karena saya suka melakukannya.

oSaya satu-satunya orang yang tahu bagaimana melakukan ini.

oDia gagal melakukannya sebelum ini, jadi saya tidak akan memberi dia tugas apa-apa lagi.

Setelah semua asumsi di atas dapat Anda hilangkan, maka delegasikanlah pekerjaan yang bisa didelegasikan. Delegasi yang efektif diperlukan di mana pun dan siapa pun Anda, mulai dari menyuruh anak Anda membersihkan halaman sampai meminta manajer keuangan Anda mempersiapkan laporan tahunan.

Delegasi yang efektif berarti terbaginya beban kerja, dengan bonus tambahan mengembangkan kemampuan dan tanggung jawab kepada yang lain. Anda bisa memaksimalkan pembelajaran dengan menyisihkan waktu untuk merefleksikan pekerjaan begitu pekerjaan tersebut selesai --apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang dilakukan selanjutnya? Anda juga bisa mendapatkan masukan mengenai kemampuan delegasi Anda.

Konsultan dan trainer asal Singapura James Gwee, yang banyak berbicara dalam seminar dan memberikan training di Indonesia berpendapat, masalah utama dalam delegasi adalah para manajer sering terlalu detil. Dia memberikan tips agar dalam melakukan delegasi, cukup sebutkan hasil yang Anda inginkan. Tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus dilakukan. Biarlah karyawan sendiri yang menentukan langkah-langkah konkret. Yang penting, mereka sudah tahu hasil seperti apa yang harus mereka capai. Cara seperti itu akan merangsang kreativitas karyawan yang bersangkutan. Lebih dari itu, jika berhasil, mereka akan merasa sangat bangga dan sukses karena dapat mencapai target atau tujuan dengan langkah yang mereka susun sendiri.

Sebaliknya, jika Anda terlalu detail dalam menjelaskan setiap hal yang harus mereka lakukan, jika berhasil, mereka akan merasa “biasa-biasa saja” karena merasa bahwa hal itu adalah kesuksesan Anda, jadi tidak ada sense of achievement pada mereka. Repotnya, kalau mereka gagal, mereka akan langsung angkat tangan, bahkan menyalahkan Anda. Karena bagi mereka, kegagalan tersebut akibat dari langkah-langkah yang Anda arahkan.

Menarik juga menyimak pendapat Chairman DHL Indonesia Rudi J Pesik, yang dikemukakan dalam seminar ”Ideas From Giants” beberapa bulan yang lalu. Rudi mengungkapkan, selalu saja dalam melakukan delegasi, dia tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan bawahannya. Tapi, biar bagaimana pun, dia harus melakukan delegasi agar dia dapat melakukan pekerjaan lain. Rudi juga menganggap, karyawan tidak akan melakukan sebaik yang dia lakukan. Karena itu, dia mempunyai kriteria, apabila karyawan sudah melakukan 70% saja sebaik dirinya, itu sudah bagus. Daripada dia memusingkan 30% kekurangan itu, lebih baik dia mencari tantangan-tantangan baru sehingga dirinya dan perusahaan lebih berkembang.

(Penulis adalah Pemimpin Redaksi PortalHR.com)

Budaya Perusahaan, Punyakah Kita?

Oleh: Meisia Chandra

Pada suatu kesempatan makan siang, saya mendengar obrolan yang heboh dari meja sebelah tentang karyawan baru yang bikin geger dan sering menjadi bahan gosip di antara karyawan. Salah satu kalimat yang tercetus dalam obrolan seru itu, “Dia baru masuk sih, jadi belum paham budaya perusahaan kita.” Celetukan lain yang juga sempat saya curi dengar, “Dia mungkin dari perusahaan yang budayanya saling sikut karena persaingannya sangat keras.”


Budaya perusahaan telah menjadi istilah yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari antarkaryawan. Namun, seperti halnya saya sendiri, saya yakin banyak di antara karyawan itu yang tidak memahami betul definisi budaya perusahaan. Hal ini terungkap juga pada acara Corporate Culture Festival yang digelar Red Piramid di Hotel Borobudur, 18-19 April yang lalu. Audiens, termasuk saya sendiri, ketika ditanya tentang definisi budaya perusahaan, tidak dapat memberikan jawaban yang tepat.

Pada acara itu diluncurkan juga sebuah buku berjudul Corporate Culture: Challenge to Excellence yang merupakan antologi (kumpulan artikel) yang ditulis oleh para pakar budaya perusahaan yang juga (bukan) kebetulan menjadi pembicara dalam seminar dua hari tersebut. Dalam buku itu, Corporate Culture didefinisikan sebagai, "Serangkaian nilai atau keyakinan yang menghasilkan pola perilaku tertentu secara kolektif dalam korporasi.”

Berdasarkan definisi tersebut, maka apabila nilai-nilai atau visi perusahaan yang sering tertempel dan dipajang di dinding-dinding kantor belum muncul dalam bentuk perilaku kolektif, nilai-nilai itu bukan merupakan budaya perusahaan.

Berikut beberapa contoh Corporate Culture:

Kelompok Kompas Gramedia (KKG): (seperti dikutip dari buku Corporate Culture) "Secara keseluruhan, culture matters yang diyakini dan dihidupi oleh segenap jajaran SDM di KKG, yang berjumlah 11.300 orang adalah sikap menghargai waktu, bekerja dengan tujuan mulia, hemat, mementingkan pendidikan, sikap yang dapat dipercayai, berprestasi, menjunjung etika, adil, dan kepemimpinan horizontal."

Anugrah Argon Medica (AAM), Group Dexa Medica: (seperti dikutip dari materi presentasi Erwin Tenggono, Managing Director AAM)

"A Culture of Discipline."

- Disciplined People --> No need of hierarchy

- Disciplined Thought --> No need of bureaucracy

- Disciplined Action --> No need of excessive controls

Group Wonokoyo, perusahaan yang bergerak di bidang peternakan: (seperti dikutip dari buku Corporate Culture) nilai budaya Jujur, Disiplin, Tanggung-Jawab, Bersih-Rapi.

Corporate Culture biasanya dimulai dari tindakan-tindakan dan nilai-nilai dari sang pemimpin perusahaan, yang biasanya juga adalah pemilik dan pendiri perusahaan. Seiring dengan waktu, tanpa disadari oleh sang pemimpin tersebut, nilai-nilai dan tindakan itu membudaya dengan sendirinya (=menjadi nilai-nilai dan kebiasaan yang dianut oleh semua karyawan).

Kalau kita perhatikan perusahaan-perusahaan unggul yang terus mencatat prestasi hingga puluhan tahun, seperti Coca Cola, Toyota, mereka mempunyai budaya perusahaan yang sangat kuat. Kuatnya budaya perusahaan ini diyakini sebagai salah satu faktor penting penentu keberhasilan mereka yang berkesinambungan.

Tiba-tiba saya jadi teringat kasus yang menimpa perusahaan tempat teman saya bekerja. Karena industri di bidang itu sedang berkembang pesat, maka terjadi pembajakan besar-besaran terhadap karyawan di perusahaan tempat teman saya bekerja itu sehingga bosnya sangat kewalahan. Dengan tawaran gaji 2 hingga 3 kali lipat, dengan mudah sebuah perusahaan baru di bidang yang sama menarik orang-orang terbaik dari perusahaan tempat teman saya bekerja itu.

Terbersit dalam benak saya... mungkin, mungkin, kalau perusahaan tempat teman saya bekerja itu mempunyai budaya perusahaan yang kuat, maka tidak akan semudah itu karyawannya pindah hanya karena iming-iming materi. Saya yakin setiap karyawan pasti mempunyai nilai-nilai yang dianut dan dipercaya. Bila perusahaan yang menawari mempunyai nilai-nilai dan budaya yang tidak sama, saya tidak yakin mereka akan mau pindah meskipun ditawari benefit yang jauh lebih banyak. (Tapi, tentu saja itu dengan catatan benefit yang diperolehnya di perusahaan tempat dia bekerja sudah termasuk cukup).

Seorang direktur HR sebuah perusahaan farmasi terdepan di Indonesia pernah saya dengar mengatakan, sekarang ini untuk menarik karyawan bergabung dengan perusahaan kita, benefit saja tidak cukup. Perusahaan juga harus melakukan kegiatan branding untuk mempromosikan nilai-nilai dan budaya perusahaan. Karena karyawan akan berminat bergabung apabila nilai perusahaan sesuai dengan nilai yang dianutnya.

Kembai ke seminar Corporate Culture Festival, salah seorang pembicara yaitu Herry Tjahjono yang dikenal sebagai Corporate Culture Therapist mencontohkan kasus yang terjadi pada Gudang Garam, di mana budaya perusahaan yang berdasarkan kekeluargaan sangat kuat di antara para buruh linting rokok. Sehingga, meskipun keadaan ekonomi perusahaan sedang buruk, tidak satu pun dari buruh itu meninggalkan perusahaan.

Lalu bagaimana dengan perusahaan tempat kita bekerja? Sudahkah kita memiliki budaya perusahaan? Barangkali sudah ada benih-benih untuk tumbuhnya sebuah budaya perusahaan yang kuat di perusahaan Anda. Misalnya adanya seorang pemimpin yang kuat dan dihormati dan juga dicintai. Dia menerapkan nilai-nilai dalam setiap perilakunya yang sangat mempengaruhi semua karyawan, seperti ”selalu memberikan pelayanan yang terbaik untuk pelanggan”, ”bekerja dengan penuh gairah”, ”menghargai gagasan setiap orang dalam tim” dan sebagainya.

Dengan berlalunya waktu dan terbukti bahwa kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai dari sang pemimpin ini sukses, maka cara-cara itu yang akan menjadi budaya yang diteruskan secara turun-temurun dan akan mengakar menjadi semakin kuat. Salah satu bagian dari tugas ke-HR-an adalah mendefinisikan nilai-nilai dan tindakan-tindakan itu dan menurunkannya hingga menjadi budaya yang dianut oleh karyawan dalam setiap level.

(Meisia Chandra, Pemimpin Redaksi PortalHR.com)



Investasi untuk membangun merek

oleh : Handi Irawan D.
Chairman Frontier Consulting Group

Upaya perusahaan dalam membangun sebuah merek, harus dilihat sebagai investasi. Bila pimpinan puncak atau pemasar hanya selalu melihatnya sebagai pengeluaran, pastilah tidak akan tercipta sebuah merek yang kuat. Perusahaan yang memiliki pandangan seperti ini akan cenderung untuk perang harga atau fokus kepada upaya-upaya penjualan.

Biasanya, kesadaran akan pentingnya merek muncul setelah mereka mengetahui berapa nilai yang terkandung dalam sebuah merek yang kuat. Merek global seperti Coca Cola, memiliki harga sekitar US$70 miliar.

Merek Microsoft misalnya, menurut perkiraan Interbrand pada 2006, sudah bernilai US$56 miliar, atau sekitar 1,6 kali dari nilai net tangible assets Microsoft pada periode yang sama.

Nilai merek ini, biasanya kemudian menjadi kenyataan ketika suatu perusahaan melakukan akuisisi atau diambil alih oleh perusahaan lain. PT HM Sampoerna, dibeli Philip Moris sekitar Rp39 triliun di atas nilai bukunya.

Kalau merek ini merupakan 75% dari total nilai intangible-nya, berarti, harga merek dari Djie Sam Soe, A Mild, dan Sampoerna Hijau, sudah sekitar Rp30 triliun.

Tentu saja, untuk mencapai nilai merek yang sedemikian besar bukanlah perkara mudah. Butuh investasi yang tidak kecil. Contohnya, untuk peluncuran Windows Vista, manajemen diperkirakan mengeluarkan dana pemasaran global sebesar US$ 500juta, tertinggi yang pernah dikeluarkan oleh Microsoft untuk mendukung pemasaran Windows.

HM Sampoerna sendiri, diperkirakan mengeluarkan uang lebih dari Rp 2 triliun untuk A Mild saja, selama merek ini diluncurkan hingga 2006.

Jadi, keuntungan merek yang kuat, selalu dalam dua bentuk. Pertama, keuntungan jangka pendek yang tercermin dari nilai penjualan dan tingkat profitabilitas yang dicetak merek itu.

Bila besarnya laba masih lebih kecil dibandingkan dengan dengan pengeluaran biaya promosi dan biaya membangun merek lainnya, maka perusahaan tetap saja mendapatkan tingkat investasi yang baik bila nilai akhir dari merek tersebut, sudah lebih tinggi dari semua investasi yang sudah digelontorkan.

Investasi merek tidak terbatas pada kegiatan pemasaran. Kegiatan seperti riset pasar guna mendapatkan insight mengenai kebutuhan dan keinginan konsumen, yang dilanjutkan dengan proses pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan tersebut, hingga kepada after-sales service adalah hal-hal yang terkait dengan investasi merek.

Di Indonesia, Wings Group untuk mendukung peluncuran Mie Sedaap menggelontorkan ratusan miliar dalam 2 tahun pertamanya.

Sebagai merek baru, perolehan penjualannya sangat mungkin lebih kecil dari biaya promosinya. Ini hal biasa untuk merek yang relatif baru di mana biaya investasi yang dibutuhkan umumnya jauh lebih besar dibandingkan merek yang sudah exist guna mencapai posisi top.

Ini pasti berbanding lurus dengan situasi persaingan yang berlangsung. Semakin tinggi tingkat kompetisi di suatu industri, maka akan semakin besar pula biaya investasi yang diperlukan untuk membangun merek yang top.

Berorientasi laba

Tetapi, sebagai sebuah entitas organisasi yang berorientasi pada laba, melakukan investasi saja tanpa memperhatikan return yang didapatkan dari investasi tersebut tidaklah tepat. Manajemen butuh indikator kontrol yang dapat memberikan informasi seberapa baik nilai yang diinvestasikannya memberikan return.

Untuk menghitungnya, dapat menggunakan ukuran Return on Brand Investment (RBI), yaitu rasio antara return yang diperoleh dengan seluruh investasi yang dikeluarkan untuk membangun merek. Untuk menghitung return-nya, bisa kita lihat selisih brand equity antara satu periode dengan periode tertentu.

Bila tingkat kenaikan brand equity ini lebih besar dari seluruh investasi dalam periode tersebut, maka RBI adalah positif. Semakin tinggi tingkat peningkatan brand equity-nya, semakin besar pula tingkat RBI nya.

Pada akhirnya, pengukuran RBI yang berkesinambungan dapat memberikan gambaran pada manajemen mengenai tingkat keberhasilan mereka dalam membangun merek. Juga dapat memberikan gambaran strategi yang perlu diambil oleh manajemen untuk mempertahankan/meningkatkan kekuatan mereknya.

Kemampuan pemerintah yang bertindak sebagai regulator untuk memberi kepastian terhadap perlindungan merek, sangatlah penting. Ini akan menjadi pegangan bagi pengusaha lokal untuk mau membangun mereknya.

Banyaknya kasus perselisihan merek di Indonesia, sudah pasti menjadi faktor penghambat. Siapa yang mau membangun merek dengan dana ratusan miliar dan kemudian mereknya tidak mendapat perlindungan yang pasti? Tanpa proteksi seperti ini, nilai merek akhirnya menjadi nol. Akhirnya, pengusaha lokal lebih senang untuk fokus menciptakan penjulanan jangka pendek yang pada akhirnya tidak akan membangun daya saing.

Liburan adalah investasi

oleh : Mike R. Sutikno
Managing Partner Financial Planner Mike Rini & Associates

Sabtu itu waktu masih menunjukkan pukul empat dini hari ketika alarm berbunyi. Rencananya Anda akan bangun dan memeriksa sekali lagi materi pertemuan pukul 8.00 pagi nanti. Dan Anda memang bangun, hanya untuk mematikan alarm. Ketika benar-benar tersadar jarum jam pendek sudah menunjukkan angka 6 lewat. Terlambat!

Dan tiga perempat jam kemudian Anda sudah dibelakang kemudi sambil meneguk jeruk hangat plus madu buatan istri. Tapi ada yang aneh...jalanan kok sepi? Bukankah Sabtu pagi di Jakarta selalu macet abadi tidak beda dengan hari kerja lainnya. Anda baru ingat kalau sekarang musimnya liburan anak sekolah. Ah...kapan terakhir kali anak-anak liburan, Anda tak ingat.

Zaman sekarang anak-anak juga tidak kalah sibuknya dan stres seperti orang tua, apalagi dengan segala tekanan Ujian Nasional. Jadi siapapun yang di akhir minggunya masih bekerja, atau ketika tak sempat lagi memikirkan diri sendiri, percayalah dia pasti membutuhkan liburan lebih dari siapapun.

Liburan terencana

Liburan bagi keluarga hampir identik dengan liburan sekolah. Mengapa demikian? Karena, rata-rata keluarga memilih waktu liburan ketika anak-anak mereka juga libur dari sekolahnya. Alasannya sederhana. Untuk menikmati waktu liburannya, anak-anak tidak perlu kehilangan waktu belajarnya di sekolah.

Hati-hati! Liburan yang tidak direncanakan dengan baik malah bisa menyebabkan bencana. Bayangkan saja kesulitan yang akan terjadi jika keluarga Anda sampai kekurangan uang di tempat liburan.

Karena itu jika pilihannya adalah bepergian, maka harus didukung dana liburan yang memadai. Dana yang memadai ini tidak berarti harus dalam jumlah besar, tetapi lebih kepada tercukupinya kebutuhan selama liburan dan yang paling penting anggaran belanja tidak sampai kebobolan. Karena itu sebaiknya sebelum berangkat ke tempat liburan, buatlah anggaran yang berisi rencana pengeluaran selama liburan, seperti contoh dibawah ini:

Transportasi. Perkirakan berapa biaya yang harus Anda cadangkan untuk transportasi pulang balik. Besar kecilnya biaya tergantung dari alat transportasi apa yang dipilih.

Penginapan. Carilah informasi mengenai biaya menginap di tempat yang Anda inginkan sehingga Anda bisa memperkirakan biaya penginapan.

Makanan. Anda mungkin tidak akan masak sendiri selama di tempat liburan, karena itu untuk biaya makan harus dicadangkan sebanyak biaya makan satu hari di kali jumlah hari yang dihabiskan selama liburan. Jika tempat liburan Anda jauhnya sekitar satu atau setengah hari perjalanan maka perlu ditambahan biaya makan dalam perjalanan.

Rekreasi. Baik sekali jika Anda memilih tempat rekreasi yang penuh petualangan juga edukatif atau yang bernilai sejarah, anak-anak bisa berlibur sambil belajar. Tentukan dulu berapa alokasi anggaran untuk rekreasi ini baru kemudian sesuaikan dengan tujuan atau tempat rekreasinya. Jika biaya rekreasi ke tempat tersebut diluar anggaran rekreasi Anda, maka sebaiknya carilah alternatif tempat lain yang terjangkau dengan budget Anda atau kurangi jumlah tempat rekreasi yang akan dikunjungi.

Belanja. Biasanya kita ingin membawa souvenir, barang kerajinan atau kue khas dari tempat liburan tersebut. Perkirakanlah secukupnya berapa anggaran untuk oleh-oleh ini dan berbelanjalah sesuai anggaran.

Biaya tak terduga. Untuk mencegah kurangnya dana karena harus membayar pengeluaran yang tidak ada dalam anggaran maka cadangkanlah juga dana untuk biaya tak terduga yang besarnya sekitar 10% dari anggaran liburan Anda.

Mengoptimalkan liburan

Stereotype yang melekat pada liburan sekolah adalah hura-hura dan pemborosan. Begitulah kemungkinannya yang akan terjadi jika liburan sekolah anak tidak direncanakan dengan baik.

Barangkali hal itu yang membut orang tua me-rumahkan anaknya saat liburan. Selain lebih mudah diawasi, waktu dan biaya juga menjadi pertimbangan. Alasan yang ada benarnya, kecuali pada masalah biaya.

Tanpa rencana kegiatan anak-anak dengan mudah menjadi cepat bosan, apalagi jika Anda dan pasangan terpaksa tetap bekerja justru pada saat mereka liburan. Kebiasaaan jajan justru makin menjadi-jadi saat ini, terutama anak-anak yang beranjak remaja.

Daripada kesepian di rumah lebih baik jalan-jalan sama teman ke mal untuk nonton bioskop, belanja, pesta besar an atau malah kebut-kebutan di jalan. Bayangkan berapa banyak yang harus Anda keluarkan untuk memenuhi permintaannya sekaligus menghapus rasa bersalah karena tidak bisa menemaninya.

Karena itu jika memutuskan untuk liburan di rumah, fasilitasi anak-anak untuk berkreasi! Dorong mereka untuk merealisasikan semua ide-ide yang belum sempat direalisasikan.

Mendesain blogger atau situs pribadi , menulis cerita atau menulis artikel dan mencoba mengirimkannya ke majalah. Siapa tahu diterima ada sejumkah honor yang bisa menambah uang saku kan.

Membuat prakarya yang bisa dijual, mencoba resep-resep kue, membuat reuni kecil-kecilan dengan teman lama, mengikuti berbagai loka karya, aktif di kegiatan sosial atau memaksimalkan handycam menganggur di rumah dan membuat film independen.

Liburan tidak selalu bertujuan hura-hura, jika dilakukan dengan porsi yang tepat dia bahkan menjadi investasi yang memberikan return berupa semangat dan energi baru untuk kembali kepada kegiatan sehari-hari. Karena itu investasikan waktu dan dananya secara khusus untuk berlibur agar baterei Anda sekeluarga yang sudah hampir habis bisa bertenaga kembali.